Selasa, 12 Januari 2021

Cerpen: Aku Pulang

Judul: Aku Pulang

Karya: Alir Bening Firdausi

Written around 2018

dilarang plagiat!

==================================

Aku tak punya identitas. Terserah saja kau mau memanggilku apa. Budi boleh, Paijo boleh, kalau kamu mau memanggilku ‘sampah’ juga bukan masalah. Aku memang bukan aku, yang sejak dilahirkan, tumbuh dalam suka cita pangkuan ibu. Dididik, dibimbing, dibesarkan dengan penuh kasih untuk menjadi pribadi yang baik juga berguna bagi nusa dan bangsa.

Kalau ditanya, “Apakah kau sekarang sudah menjadi pribadi yang berguna bagi nusa dan bangsa?” mungkin, sebagian orang boleh menjawab sudah. Walau bagiku, belum sepenuhnya.

Dua bulan lalu, aku membaca sebuah surat kabar. Katanya, ada anak yang rela memanjat tiang bendera demi membetulkan pengait bendera yang tersangkut. Percayalah, aku belum pernah melakukan hal itu. Tapi, aku pun pernah melakukan hal yang belum tentu semua orang bisa menuntaskannya dengan baik.

Lalu, jika tidak punya nama, bagaimana kau tahu siapa aku?

Izin diri memperkenalkan. Aku hanya seorang pemuda yang berprofesi sebagai mata-mata. Yang kehilangan jati diri sebagai wujud abdi terhadap tanah airku. Aku, manusia dengan semboyan, “Jika berhasil tidak dipuji, jika gagal dicaci maki, jika hilang tidak ada yang mencari, dan jika mati tidak ada yang mengakui.”Aku, manusia yang mengemban tugas berat—walau tidak seberat dosa—, manusia yang menjadi taruhan demi keberlangsungan hidup negara. Aku, manusia yang menggenggam rahasia-rahasia negara.

“Kau lelah tidak?” Aku sedang enak-enaknya nyandar di pohon saat temanku—aku memanggilnya Wawan (itu bukan nama aslinya)—tiba-tiba menyodorkan sebotol air minum dingin. Aku langsung menerimanya, tentu saja tanpa basa-basi.

“Iya. Kau?”

“Sama.” Wawan ikut nyandar di sebelahku. Sebotol air di tangannya sudah raib isinya. “Berapa hari lagi yang kita perlukan untuk menangkap komplotan bandar narkoba itu?”

“3 hari.”

“Astaga,” keluhnya, “kau tau bukan, beberapa minggu lalu kita baru saja—“

“Jangan mengeluh,” potongku, “sudah menjadi tugas kita.”

Beberapa minggu lalu, aku serta beberapa temanku, Wawan salah satunya, baru saja terbang ke Barat untuk menyadap informasi. Kami mempertaruhkan nyawa kami sebab hampir saja identitas kami terbongkar. Untungnya, kami segera mengambil langkah cepat. Lebih baik berbalik arah daripada tertangkap oleh negara lain.

Kalau kami mendapati situasi itu, kami hanya punya dua pilihan. Bunuh diri atau terbunuh. Dalam setiap tugas, kami selalu dibekali pil yang bisa membunuh diri kami sendiri.

Bukan intel namanya jika tidak berani mengambil resiko. Daripada makar—berkhianat pada negara? Lebih berat pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Lebih baik mati karena kesalahan dan kecerobohan kami sendiri. Toh kelak kami dibiarkan hidup, hidup kami akan tersiksa.

“Aku rindu sekali dengan sanak keluargaku.” Wawan menengadahkan kepalanya, menatap langit-langit. Iris penuh harapnya menebus cakrawala yang sunyi.

“Aku dan kawan-kawan pun rasa hal yang sama. Kau tidak merindu sendiri,” balasku, “ah ya, aku lupa belum kirim uang untuk orangtuaku.”

“Kirim lah besok. Ingat, sesukses apapun kau, bila tanpa mereka, kau bukan siapa-siapa.”

Aku mengangguk. Besok. Dan memang wajib hukumnya.

Seketika aku teringat, bagaimana dulu aku mengemis-ngemis untuk diizinkan mengikuti seleksi masuk Sekolah Tinggi Intelejen Negara (STIN). Bapak mengizinkan, tapi ibu tidak.

“Sudah lebih dari satu dasawarsa ibu hidup dengan kamu, Nak. Ibu tahu segala kelebihan dan kekurangan kamu. Memang betul, kamu lemah dalam akademik. Kau kurang cakap dalam hitung-menghitung. Dan memang betul, kamu kuat dalam fisik. Karate, tae kwon do, pencak silat, ilmu bela diri mana lagi yang belum pernah kamu tempuh?

Tapi, apa iya, kamu senekat itu? Bekerja sebagai intel, bekerja sebagai mata-mata. Kamu tau betapa sulitnya itu, Nak? Kamu tau, berjuta-juta resiko yang akan kamu hadapi. Kehilangan identitas mungkin hal yang ringan. Namun kematian? Ibu belum siap untuk hal itu.”

Tempo hari, aku berusaha meyakinkan ibu seyakin-yakinnya kalau aku akan baik-baik saja, kalau aku bisa melewati semuanya. Dan soal kematian, itu hanya soal takdir. Walau yang terjadi, banyak orang-orang menyalahkan situasi juga kondisi. Bila Yang Di Atas belum memanggil, aku percaya, kakiku akan masih melangkah, menapaki liku kehidupan.

Dan ibu mengizinkan.

Diiringi doa restu sakral-nya, katanya, “Bila nanti kamu diterima, yang terbaik untukmu Ibu senantiasa doakan. Jangan lupakan ibu dan bapak. Jangan lupakan rumah di mana kau dibesarkan dan rahim di mana kau dikandung.”

Lalu, aku mengikuti serangkaian tes dalam kurun waktu yang terbilang lumayan. Sampai ketika pengumuman, aku dinyatakan lolos.

Berdirilah aku di sini sekarang. Badan Intelijen Negara atau yang kebanyakan orang menyingkatnya BIN. Usai empat tahun lamanya aku ditempa dengan berbagai macam pembelajaran di sebuah sekolah yang benar-benar ketat pengawasannya. Bahkan, letak pastinya pun tak begitu banyak yang tahu.

Jika kamu biasa mencari di mesin pencari alamat suatu tempat, mungkin akan langsung tertera alamat lengkapnya mulai dari jalan sampai kode pos bila ada. Sebaliknya, jika kamu mencari alamat STIN, yang kamu temui akan sebaliknya. Hanya daerah dan kabupaten, tanpa ada nama jalan.

“Wan,” panggilku. Wawan yang masih setia di sebelahku menoleh.

“Ya?”

“Kau ada rencana menikah?”

Wawan terbahak. “Menikah? Apa itu? Bahkan, aku hampir tidak mengenal lagi yang namanya wanita. Pacarku beberapa tahun silam, yang aku tinggal menempuh pendidikan, entah bagaimana sekarang kabarnya.”

“Kau punya?”

“Pernah maksudnya. Aku yakin dia sudah tidak mengakui aku lagi. Aku yakin kalau dia sudah mendapatkan seseorang yang baru, bahkan aku yakin dia sudah lebih dahulu naik ke pelaminan.”

“Bagaimana kau bisa seyakin itu?”

“Hanya firasat.”

Aku hanya ber-oh saja. Bagaimana dengan aku sendiri? Aku ada rencana. Namun, kamu tahu itu sangat sulit. Di sisi lain aku sangat tersembunyi keberadaannya. Lagian, apa ada wanita yang mau dengan seorang mata-mata? Yang harus siap kapan saja ditinggal berdinas, tanpa tahu apa saja yang diperbuat oleh pasangannya.

Jika aku menjadi wanita, aku akan berpikir ribuan kali, meskipun gaji seorang mata-mata bisa terbilang besar dan cukup untuk hidup bermewah-mewahan. Tapi kan, apa gunanya hidup mewah kalau kebahagiaan saja tidak punya? Kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan harta, bukan?

*

Aku menatap langit sore ini. Tak secerah biasanya. Angin kencang bertiup berkali-kali, merusak tatanan rambutku. Petir juga terlihat asik meloncat-loncat di atas sana. Sampai tak lama, semesta memilih untuk menumpahkan air matanya.

Berbekal sebuah payung hitam, aku melangkah menyusuri padatnya jalanan kota. Riuh bunyi klakson kendaraan yang tidak sabaran ingin cepat-cepat laju, memekakkan telingaku. Ingin aku mencaci-maki mereka, “Sabar dong! Hidup itu enggak cuma soal kamu saja! Jangan egois!” yang pada akhirnya, aku pendam lamat-lamat. Mengingat tujuan utamaku, membeli kartu perdana untuk menghubungi orangtuaku dan mengirimkan uang yang jumlahnya tak seberapa sebagai balas budi bagi mereka yang sudah merawatku tanpa tahu caranya berhenti.

“Mas, beli kartu perdana yang isi pulsa lima puluh ribu satu.”

Penjaga konter yang aku singgahi, sempat keheranan melihatku. Bagaimana tidak. Pakaian serba hitam belum lagi masker hitam yang menggantung di wajahku. Sempat kulihat raut ketakutan pada wajahnya, sebelum ia mengambilkan pesananku.

“Enam puluh ribu,” ujarnya.            

Aku merogoh kantung celanaku. Usai menemukan selembar uang biru juga ungu, aku menyodorkannya kepada lelaki itu.

“Terima kasih,” kataku lirih. Aku tidak yakin dia mendengarnya, tapi sepertinya dia dengar. Buktinya, dia tersenyum ramah kepadaku.

Setelah mengaktifkan handphone, tak lupa kartu perdana juga aku pasang, aku segera memijit digit nomor telepon ibu dan tanpa basa-basi, menghubunginya.

“Iya, siapa?” Terdengar suara di seberang. Suara yang aku rindukan. Suara yang selalu teringat setiap malam di mana aku beranjak tidur. Suara yang selalu ingin aku dengar.

“Ibu, aku rindu.”

“Yahya?” Ibu menyuarakan namaku. Ya, nama kecilku Yahya. “Ini benar kamu, Nak?”

“Ibu, aku rindu.” Tanpa menjawab pertanyaan tadi, aku kembali menyerukan satu kalimat itu. Air mataku mengalir dari ujung indera penglihatan tanpa bisa aku bendung. Menyatu dengan tangisan semesta. Perlu diakui, aku memang lemah, lemah sekali!

Ibu terdengar terisak di ujung sana. Aku tahu bagaimana perasaannya, karena aku pun tengah merasakannya. Sekian ribu hari aku lewati tanpa menghubunginya, walau aku rutin mengirimkan kertas-kertas penunjang kehidupan.

“Ibu juga rindu sama kamu, Nak.”

“Ibu apa kabar?”

“Untuk apa kamu menanyakan kabar Ibu, Nak? Ibu jelas baik-baik saja di sini. Ibu lah yang seharusnya menanyakan kabarmu. Apa kabar, Anakku?”

“Baik. Bapak apa kabar?”

“Bapakmu ... baik-baik saja.”

Dari kata-katanya yang tersendat-sendat, aku jadi tidak percaya. “Ibu yakin?”

“Ah tidak. Bapakmu sedang sakit.”

“Sakit apa?”

“Radang lambung. Tidak parah. Kamu jangan khawatir. Lanjutkan saja tugasmu.”

Aku tahu ibu hanya sedang berusaha meredakan kekhawatiranku, agar aku bisa melanjutkan tanggungjawabku dengan lancar. Ibu tipikal orang yang tak mau merepotkan orang lain. Walau mau bagaimanapun, tetap sakit rasanya. Mengetahui aku gagal menjadi seorang anak, yang kewajibannya mengobati saat orangtuanya dalam keadaan terpuruk seperti saat ini.

“Aku akan segera pulang kalau tugasku sudah tuntas, Bu.”

“Memangnya diizinkan?”

“Entah. Pokoknya aku bakal pulang. Aku ingin menjenguk Bapak.”

“Kapan?”

“Tugasku selesai lusa.”

“28 Oktober? Bertepatan dengan Sumpah Pemuda?”

Aku melirik jam tanganku sebentar. Benar rupanya, aku bertugas bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda. “Iya. Berarti aku pulang 29 Oktober. Pasti,” janjiku.

“Kamu tidak lelah?”

“Tidak. Yang penting aku pulang,” jawabku mantap.

Tak terdengar lagi sahutan dari seberang. Bukan berarti, ibu kehabisan pemikiran untuk diutarakan. Aku tau ibu memendam jutaan pertanyaan, hanya saja, beliau enggan untuk mengajukannya. Hanya saja, beliau terlalu naif mengingat untuk ukuranku, obrolan kami sudah terhitung terlalu lama.

“Ya sudah Bu. Ibu jaga diri baik-baik ya. Jangan lupa ambil kiriman ya, hitung-hitung buat pengobatan bapak. Salam rindu buat bapak, semoga lekas sembuh.” Dan aku memutus sambungan.

Setelah menonaktifkan telepon genggam dan mengeluarkan kartu perdana, aku menghancurkan benda kecil itu. Menginjaknya, hingga berubah menjadi kepingan kartu. Hal yang wajar dilakukan seorang intel.

Aku kembali melangkahkan kakiku. Kali ini, menuju salah satu ATM terdekat. Usai sorot mataku menemukan titik temu, aku tergopoh-gopoh menghampirinya. Tidak sabar sudah aku.

DUK!

Tanpa sadar, aku menyandung seorang perempuan, membuatnya terjatuh. Aku cepat-cepat menoleh dan refleks mengulurkan tanganku. “Maaf. Maaf, aku buru-buru.”

Dia tampak sibuk merapikan  pakaiannya yang kotor oleh tanah. Aku benar-benar merasa bersalah walau dia kelihatan baik-baik saja.

“Tidak apa-apa.” Tanpa menyambut uluran tanganku, perempuan itu berdiri. Ia memalingkan wajahnya ke arahku, membuatku seketika terkejut. Aku mengenalinya dan tak mungkin salah. Dia, perempuan yang baru saja aku tabrak, adalah Esa.

Jantungku mendadak berdebar melebihi tempo normal. Aku tidak mungkin lupa gadis yang pernah aku sukai lima tahun lalu. Lebih tepatnya, ia, gadis yang terakhir aku sukai sebelum menempuh pendidikan. Aku hampir lupa bagaimana perasaanku padanya, tapi, menyadari jantungku berdetak begitu kencangnya, aku yakin, masih ada setitik rasaku untuknya. Tuhan, bagaimana Kau bisa membuat kebetulan sehebat ini?

Esa mungkin menyadari perubahan rautku—walaupun tertutupi masker. Aku yakin sepenuhnya, dia sebenarnya mengenaliku namun dia ragu. Memanfaatkan kesempatan, cepat-cepat aku berpamitan, kemudian masuk ke ATM yang menjadi tujuan awalku. Sekilas aku melirik ke arah Esa, ekor matanya mengikutiku sampai aku hilang dalam jangkauannya.

Tuhan, aku benar-benar menahan diri untuk tidak menyapanya, seperti kebiasaanku dulu. Dia masih dan akan selalu cantik. Tapi sekarang, aku hanya bisa mendoakan untuk kebahagiaannya.

Lupakan soal pertemuan tak terdugaku dengan Esa. Selepas memijit digit nomor rekening ibu beserta sejumlah nominal yang hendak aku kirim, aku menghela nafas lega. Ingat. Dua hari lagi. Setelah itu, aku bisa pulang ke rumah.

*

Hari ini adalah hari bersejarah bagi perjuangan kemerdekaan bangsaku. 28 Oktober. Sekian puluh tahun lalu, pemuda-pemudi dari seluruh penjuru tanah air berkumpul menjadi satu, menyusun dan mengikrarkan janji yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Walau, untuk sekarang ini, melihat betapa mirisnya norma dan moral anak-anak bangsa, Sumpah Pemuda lebih bisa dikatakan sebagai sumpah yang hampir dilupa.

Hei, kamu merasa sudah paling baik di antara mereka? Tidak. Tapi, setidaknya, aku tidak seperti mereka. Aku tidak pernah melakukan hal-hal yang di luar kata baik bagi kaum awam. Karena aku tahu dan paham sebab-akibatnya. Kalau aku pernah seperti mereka—bertato, merokok, minum minuman keras—mungkin, aku tidak akan menjadi aku yang sekarang. Karena setauku, salah satu syarat untuk bisa diterima bekerja adalah bersih dari hal-hal yang aku sebutkan tadi.

Dan bertepatan dengan hari ini juga, aku akan melaksanakan tugasku yang mendadak terasa menyenangkan. Kamu pasti tahu penyebabnya. Tentu, karena besok aku bisa bertemu dengan orangtuaku.

Usai semalam mengudara satu jam, aku tiba di kota tempat aku dan kawan-kawanku menuju. Salah satu kota di ujung negeri, di mana, di sini transaksi narkoba berjalan dengan lancar jaya.

Tak perlu istirahat semalam penuh, kami sudah harus bersiap-siap. Pakaian serba hitam, senjata api, dan tak lupa, pil—tentu saja. Kami menunggu komando, setelah sebelumnya, Wawan dijadikan pancingan. Wawan memang piawai dalam melakukan penyamaran. Ingin aku berguru dengannya. Tapi, dia selalu merendah dengan bilang, “Kemampuanmu di atasku. Kamu lebih lihai dari aku, percayalah.” Kalau benar begitu, kenapa tidak aku saja yang dijadikan pancingan?

Setelah ada komando, seperti rencana awal, aku dan teman-temanku segera menaiki mobil hitam yang sudah disiapkan. Jaraknya tidak begitu jauh antara tempat di mana aku berpijak dengan tujuan. Hanya butuh ditempuh dalam kurun waktu tiga puluh menit.

Sepanjang perjalanan, aku disuguhkan pemandangan upacara bendera. Berkali-kali kulihat anak-anak dari yang berseragam merah-putih sampai putih-abu-abu berbaris rapi di lapangan. Setidaknya, masih ada pemuda-pemudi yang menghargai jasa pahlawannya. Mereka harus tau, upacara bendera yang kodratnya dijemur tidak lebih dari dua jam, belum apa-apanya dibanding dengan perjuangan pendahulu yang bahkan rela mempertaruhkan nyawa sendiri.

Sesampainya, kami bergegas keluar dengan cepat, bergerak memasuki sebuah rumah bercat hijau muda dengan pagar penuh tanaman menjalar secara paksa. Suara rusuh yang mewarnai tugas kami kali ini, mengundang berpasang-pasang mata warga sekitar. Tanpa diberitahu, mereka pasti tahu siapa kami. Kami hanya memberi peringatan untuk tidak dekat-dekat dengan tempat kejadian perkara.

Di dalam, kami segera menuju ruang keluarga. Dari informasi, Albert, Si Bandar Narkoba itu sedang bersama Wawan di sana. Dan memang betul mereka ada di sana. Walau, situasi yang terjadi, tidak seperti ekspetasi.

Wawan di sana tertunduk tak berdaya. Baju ala-ala preman yang dikenakannya sudah tak berbentuk lagi. Compang-camping. Sekujur tubuhnya lebam, diikuti darah yang mengalir deras dari pelipis. Bibirnya sobek. Aku bahkan hampir tidak mengenali pemuda yang tiga hari lalu mengobrol di sampingku, membahas rindu.

Pistol yang menjadi pegangan Wawan, tidak tahu bagaimana caranya bisa berpindah tangan. Senjata itu kita ada di tangan Albert yang dengan congkaknya berlakon seperti ia tak mengenal kata mati begitu berhadapan dengan kami.

“Saya sudah tahu rencana kalian,” katanya santai, “kawan kalian ini, benar-benar tidak becus ya.”

Telingaku panas mendengar ocehan Albert yang merendahkan kawan seperjuanganku. Aku tidak terima! Tanpa berpikir lebih panjang, aku mengangkat senjataku, menodongkan ke arahnya, diikuti kawanku yang lain.

Kami berputar mengelilingi Albert, yang sekali lagi terlihat santai.

“ANGKAT TANGAN!” Bahkan, perintah salah satu kawanku pun tak diindahkannya.

“Jika aku tertangkap, aku akan dihukum mati. Lebih baik, aku mati sekarang saja. Mati bersama-sama kalian, terdengar lebih indah.”

Belum usai aku mencerna kata-kata yang melesat mulus dari mulut Albert, satu ledakan besar berdentum hebat. Menghancurkan semua yang ada baik makhluk hidup ataupun benda. Aku merasakan tubuhku melayang, terpental hebat. Diikuti rasa sakit luar biasa serta panas yang mendera sekujur tubuhku.

Sebelum semuanya gelap, aku hanya ingat dua hal.

Di 28 Oktober kali ini merupakan Sumpah Pemuda terbaik sepanjang hidupku. Karena pengabdianku untuk tanah air usai sudah, menemui titik darah penghabisan walau tak tertuntaskan dengan baik tugas terakhirku.

Kemudian, di 28 Oktober ini, aku telah menepati janjiku pada ibu. Bahkan, lebih awal dari yang aku rencanakan. Aku akan pulang. Dan hari ini, aku benar-benar pulang. Ke rumahku.


[s e l e s a i]

hope you enjoy!