Juara 1 Lomba Cipta Cerita Pendek Tingkat Nasional Tahun 2021, LENTSCAPE 4.0
Mentari Terberai di Langit Merah Putih
Karya: Alir Bening Firdausi
Written around June, 2021
Jakarta, 2018
“Ingatan bangsa ini kan pendek sekali. Baru saja dua dekade, orang-orang sudah lupa siapa yang memiliki dosa dan bertanggung jawab di atasnya,” Wanita berambut lurus sebahu itu tersenyum kecil setengah menyipitkan mata menahan kilau blitz puluhan kamera wartawan, “itulah sebabnya mengapa Indonesia masih dan terus melakukan reformasi. Masih banyak terjadi ketimpangan, terutama di bidang hukum.”
“Lalu, apa harapan Mbak Widya dengan terselenggaranya acara Melawan Lupa ini?”
“Tidak muluk-muluk. Mewakili segenap keluarga korban, saya hanya berharap semoga kebenaran bisa segera terungkap dan keadilan bisa segera ditegakkan.”
*
Jakarta, 1998
“Kamu kuliah hari ini selesai pukul berapa, Ras?”
Yang ditanya tengah sibuk mengoles selai kacang ke atas selembar roti tawar sebelum menyantapnya lahap sebagai sarapan, “Agak sore, Bu. Sekitar pukul empat,” sahut gadis kelahiran 1978 itu tanpa memalingkan pandangan.
Santi menarik kursi di seberang Laras, “Yang penting jangan sampai Magrib,” wewelingnya yang langsung diiyakan putri sulungnya.
“Jangan lupa lho, Kak,” sambung bocah tembam yang duduk di kursi sebelah Laras, “nanti malam kan kita mau ke Yogya Plaza!” Dengan mulut masih penuh, ia berujar. Pipinya bergoyang ke kanan dan ke kiri.
Laras tertawa gemas, “Ditelan dulu rotinya,” bisiknya. Jemari Laras lantas beralih, dielusnya puncak kepala si bungsu yang berselisih dua belas tahun dengannya itu, “Iya, iya. Enggak mungkin Kakak lupa, Diah. Nanti kita main bareng ya di sana.”
Raut Diah seketika semringah. Ia mengacungkan kelingking mungilnya, “Janji?”
“Janji.”
Dua hari lalu, Diah merengek minta diantar ke mal besar yang ada di daerah Klender usai mendengar kabar burung dari temannya bahwa ada wahana permainan baru. Anak kelas dua sekolah dasar mana yang tidak geger?
“Lho, Adi mana, Bu?” tanya Laras menyadari ketidakhadiran anak tengah kesayangan ayahnya.
Adi sekarang sedang menganyam bangku kelas dua sekolah menengah pertama. Anaknya pendiam, tetapi penurut. Berbanding seratus delapan puluh derajat dengan kebanyakan remaja laki-laki di luar sana yang mulai mengenal huru-hara pergaulan bebas. Merokok, tawuran, geng motor, mabuk. Bagi Adi, daripada waktunya terbuang sia-sia untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, lebih baik digunakan saja untuk tidur.
“Masih di kamar. Hari ini, dia izin. Demam yang semalam belum turun juga,” sahut Santi.
Laras manggut-manggut, “Semoga besok sudah lebih baik, jadi Adi enggak ketinggalan banyak pelajaran.”
Dari ruang makan, indra penglihatan Laras dapat menangkap pemandangan seisi rumah sederhana berdinding putih kalem itu. Ruang tamunya dihias satu set sofa lengkap dengan vas bunga edelweiss dan asbak di meja. Ruang keluarga diisi kasur lantai merah untuk bersantai, sebuah lemari kaca, dan sebuah televisi tabung yang pagi itu menyiarkan berita sama seperti hari sebelumnya.
Beberapa hari mendatang, International Monetary Fund akan mencairkan bantuan dana sebanyak tiga miliar dolar kepada Indonesia yang rencananya hendak digunakan untuk memperkuat cadangan devisa dan neraca pembayaran. Negara tetangga, Jepang dan Australia juga setuju untuk memberikan bantuan sebesar masing-masing tiga ratus juta dolar.
“Pada akhirnya, kita bertekuk lutut,” komentar Laras, “mau sampai kapan negara kita begini ya, Bu?”
Santi mengangkat bahu ringan sembari membereskan peralatan makan yang tercecer di meja, “Lebih baik kita tidak usah tahu, Laras.”
“Lho, mengapa kita tidak usah tahu?”
“Karena kalau kita tahu, nanti kita jadi peduli.”
“Memangnya mengapa jika kita peduli dengan bangsa sendiri, Bu? Tidak ada yang salah, kan?”
Santi menggeleng pelan, “Laras, jangan mulai, deh.”
Yang dinasihati tertawa renyah, “Lho, ini kan tugas Laras sebagai jurnalis, Bu,” katanya, “jadi, bagaimana pendapat Ibu mengenai kebijakan ekonomi pemerintah saat ini?” Laras mengepalkan telapak tangan bak tengah memegang mikrofon, kemudian diarahkan kepada Santi.
Melihat tingkah putrinya, Santi tergelak, “Wah, saya sih no comment.” “Tidak ada orang lain yang dengar kok, Bu. Tenang saja.”
“Kata siapa?”
“Kata Laras,” ledek Laras, “ya sudah, Bu. Laras berangkat kuliah dulu. Takut kesiangan. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
*
“Ada kabar apa?” sapa Laras. Ia mengunci pintu ruangan kecil nan kumuh di sudut kampus yang dijuluki Ruang Sekretariat Pers Mahasiswa. Ia menjadi sosok yang paling akhir datang, juga sosok pertama yang memulai pembicaraan.
Sebenarnya, perempuan berkulit langsat itu tidak ada kelas pagi Senin itu. Kelas pertamanya baru dimulai sekitar pukul sepuluh. Hanya saja, tengah malam sebelumnya, Jonathan, sejawatnya yang merupakan ketua umum Persma menelepon, menginstruksikan rapat paripurna pukul setengah delapan pagi.
“Berhubung Laras sudah datang, aku langsung to the point saja ya,” Jonathan, lelaki berkacamata tebal yang sedari tadi berdiri sambil menyilangkan tangan menghela nafas dalam, “Lentera dibredel.”
Mendadak hening. Dingin. Sepuluh kepala yang mengisi tempat yang hanya bermodalkan dua buah jendela kayu sebagai sarana pertukaran oksigen itu seakan kehilangan akal sehatnya masing-masing. Hanya embusan pelan yang mampu meluncur dari bibir mereka.
Tidak ada kata untuk waktu yang cukup lama, sebelum Laras menceletuk singkat, “Perbuatan siapa?”
“Kamu tahu soal itu Laras. Siapa lagi kalau bukan dia?” Jonathan melempar balik pertanyaan.
Laras meringis, “Lagi?”
Jonathan mengangguk.
“Kali ini, soal apa?”
“Artikel Menghitung Kekayaan Keluarga Presiden dan Saatnya Kita Gaungkan Reformasi.”
Mendengar itu, Laras terbahak. Ada tiga jurnalis di Majalah Lentera Persma, namun hanya tulisan dan buah pikirnya yang selalu dikasuskan. Entah dengan alasan dianggap provokatif, melanggar privasi dan kode etik, bahkan pernah sekali dianggap kriminal. Padahal, bagi perempuan berdarah Jawa itu, yang dilakukannya tidak lain hanyalah sebagai bentuk pelaksanaan tugas.
Bukankah, tugas utama seorang jurnalis adalah menyampaikan kebenaran? “Lalu, apa?”
“Selain Lentera edisi terbaru ditarik dari peredaran, sore ini kamu juga dapat panggilan dari polisi, Ras.”
Jonathan menyodorkan secarik kertas yang langsung diterima oleh Laras. Gadis berbaju merah itu tersenyum simpul, “Mengesankan. Orang-orang ini sangat kagum dengan aku, ya, sampai-sampai ingin bertemu dengan aku?” desisnya dengan nada bercanda, namun tertangkap jelas oleh seisi ruangan sebagai ungkapan kekecewaan. Seisi ruangan tahu Laras sedang sarkasme belaka.
“Lalu, bagaimana, Kak?” sambung Eli.
Di antara sepuluh orang yang didominasi mahasiswa semester empat dan enam, Eli menjadi yang paling muda. Ia satu-satunya mahasiswa semester dua yang tertarik dengan isu politik dan bergabung dengan mereka. Posisinya sebagai penyunting, dengan bimbingan dan arahan langsung dari Yola yang lebih senior.
Jonathan mengetuk ujung meja. Dahinya berkerut, tatapan matanya mendadak tajam. Di saat seperti ini, ia bukan lagi lelaki yang terkenal ramah dan penyabar oleh anak-anak kampus.
Jonathan mendesah, “Aku enggak tahu lagi untuk yang kali ini,” ungkapnya pasrah, “maaf. Aku bukan ketua yang baik.”
“Jangan bilang begitu, lah,” sindir Laras tidak suka, ia melangkah gontai mendekati Jonathan dengan pandangan tegas, “kamu tahu kenapa kamu jadi ketua, Nath? Karena kami percaya sama kamu. Kami yakin kamu bisa membawa Persma menjadi lebih baik. Dengan kamu bicara seperti itu, secara tidak langsung kamu mencederai kepercayaan kami dan kerja keras kamu selama ini.”
Jonathan diam seribu bahasa, mencoba mencerna perkataan Laras.
“Tapi …,” Yola yang sedari tadi duduk tenang di pojok ruangan menyaksikan rekan rekannya berbincang akhirnya buka mulut, “apa kalian enggak lelah? Apa kalian enggak capai dengan tekanan yang kita dapatkan selama ini?”
Laras berseru lantang, “Tidak,” yang sayangnya, disambut bisu oleh senasib seperjuangannya.
Hampa. Entah bagaimana lagi mendeskripsikannya. Mereka merenung dengan tatapan kosong seakan pertanyaan Yola baru saja adalah beban yang sangat berat sekali melebihi berat empat puluh gajah Sumatra. Bahkan termasuk Jonathan, sosok yang selama ini menjadi tombak Persma. Sosok yang selama ini selalu maju di garda terdepan saat Persma tersandung masalah. Sosok yang selama ini seperti pengeras suara, mendukung dan menyemangati tiada henti.
“Karena besok, matahari akan bersinar lagi.”
Itu adalah kalimat favorit Jonathan yang membekas jelas di ingatan Laras. Kalimat yang membuat dirinya iri dengan wibawa, semangat, dan keteguhan yang dimiliki Jonathan. “Aku enggak mau munafik,” lirih Jonathan, “aku lelah. Aku capai.”
“Aku enggak percaya kamu bisa bilang kali—“
“Oleh sebab itu kamu harus percaya!” sela Jonathan dengan nada tinggi mengejutkan seisi ruangan, “aku lelah, aku capai. Aku bisa merasakan semua itu karena aku ini masih manusia, Ras. Apa kamu enggak pernah sekali saja merenungkan apa yang sudah kita lalui selama tiga tahun ini?”
“Pernah,” sahut Laras tenang. Ia tahu, Jonathan sedang diselimuti emosi. Ia menjadi tidak terkendali. Mukanya memerah, amarahnya meluap-luap. Menyahut dengan emosi juga bukanlah cara yang efektif.
“Apa kamu enggak pernah sekali saja merasa lelah? Kita terus ditekan oleh petinggi kampus. Biaya produksi majalah setiap semester dikurangi, sampai membuat kita hampir mati mencari dana pengganti.”
“Tidak.”
“Apa kamu sungguh enggak lelah? Satu tahun lalu, ruang sekretariat kita dirusak enggak tahu sama siapa dan pihak kampus menolak bertanggung jawab atas kerugian yang kita alami, sampai membuat kita harus pindah ke tempat kotor seperti ini.” “Tidak,” tegas Laras.
“Ah, tentu saja kamu enggak lelah. Karena kamu itu sumber masalahnya. Tulisan tulisanmu itu memang sebaiknya tidak pernah diterbitkan!” decih Jonathan. Telunjuknya mengarah tepat ke muka Laras.
Dan detik itu, hancur lebur sudah sosok seorang Jonathan di mata Laras. Tidak ada lagi Jonathan yang berwibawa. Tidak ada lagi Jonathan yang dengan semangat dan keteguhannya selalu membuat iri. Tidak ada lagi Jonathan dengan mimpi-mimpi besarnya membawa Persma menjadi lebih baik lagi.
Yang ada sekarang, hanya Jonathan dengan segala kelelahan dan keputusasaannya menghadapi kenyataan pahit.
Laras beringsut mengambil tas kepunyaannya, “Semua orang berhak bermimpi, Nath. mimpiku? Selamanya, bahkan bila aku reinkarnasi dan hidup sekali lagi, aku tetap ingin menjadi jurnalis. Aku ingin mengungkapkan kebenaran. Berada di Persma dengan posisi seperti sekarang ini sudah sangat membuatku bahagia.”
Gadis jangkung itu lalu berjalan menuju pintu ruangan tanpa sedikitpun menoleh, “Persis seperti ucapanmu dulu, Nath. Aku yakin, besok kita akan kembali seperti sedia kala. Selalu ada lembar baru. Selalu ada semangat baru. Karena besok, matahari akan bersinar lagi. Pasti.”
Laras memutar kenop dan meninggalkan ruangan. Meninggalkan teman-temannya yang tengah bertengkar dengan idealismenya masing-masing.
*
Sore itu, kala langit mulai berwarna jingga, di hadapan bangunan berdinding kaca yang sudah tidak berbentuk lagi, Laras menghentikan langkahnya. Ditatapnya dalam bangunan yang dulu sempat menjadi Ruang Sekretariat Persma sekaligus Kantor Redaksi Majalah Lentera. Bangunan yang menjadi saksi bisu dicederainya kebebasan berpendapat dan kebebasan pes di tanah Indonesia.
“Sudah lama ya, kita tidak berjumpa,” gumam Laras.
Laras tidak mungkin melupakan kejadian malam itu.
Orang-orang berbondong-bondong melempari kantor redaksi dengan batu. Setelah berhasil menjebol pintu masuk, mereka membabat habis seisi ruangan. Meja, almari, kursi, komputer, semua benda yang ada di sana dibelah menjadi dua. Beberapa orang yang membawa cat pilox menuliskan kalimat “BUBARKAN LENTERA” di banyak tempat. Jalanan, rumah terbengkalai, spanduk.
Mereka yang tidak pernah Laras ketahui wajahnya sebab tertutup topeng hitam, datang dengan amarah memuncak. Seperti baru saja ada kematian orang penting. Ada satu lelaki di antara orang-orang itu yang Laras kenali dari suara dan postur tubuhnya. Dan dialah yang mengkoordinasi perusakan Ruang Sekretariat Persma malam itu. Dia yang paling semangat memprovokasi massa. Dia, salah satu petinggi di kampus tempat Laras belajar.
“Hancurkan Lentera atau Lentera yang akan menghancurkan kita!”
“Mereka sudah terlewat batas. Hancurkan saja!”
Laras menghela nafas panjang.
Perempuan berambut lurus sebahu itu merasa menjadi orang paling beruntung di muka Bumi dapat selamat dari peristiwa nahas itu dan menjadi satu-satunya saksi kunci. Ya, malam itu, ia ada di sana. Sendiri, di Kantor Redaksi Majalah Lentera, sibuk bergulat dengan tulisannya. Saat penyerangan, Laras bersembunyi di kamar mandi. Entah bagaimana, orang orang itu tidak melihatnya. Tuhan Maha Baik.
Tanpa bukti, Laras memilih diam dan merahasiakan hal ini dari kawan-kawannya. Bila ia buka suara, ia akan dapat apa? Pasal pencemaran nama baik? Skors dari kampus karena dianggap menyebarkan berita palsu?
Laras beranjak dari sana, melanjutkan perjalanan. Ada begitu banyak hal yang berenang-renang di kepala. Ditemani bising suara kendaraan yang berkelintaran yang pada akhirnya memaksanya menjauhi keramaian ibu kota, ia mempertanyakan makna kebebasan berpendapat seperti yang tercantum di dalam Hak Asasi Manusia.
Lucunya negeri ini. Kebebasan pers dibatasi. Suara-suara yang dianggap mengkritisi, dibungkam. Orang-orang dipaksa manut dengan pemerintah. Jurnalis hanya diperbolehkan menulis sisi-sisi baik rezim yang sedang berkuasa.
“Pembodohan,” desis Laras.
Sejak kecil, Laras sudah bercita-cita ingin jadi jurnalis. Tujuan awalnya sederhana saja, ingin menjadi terkenal dan setiap hari wara-wiri di layar televisi. Semakin hari bergulir, semakin ia melihat betapa menyedihkan Indonesia, tujuannya berbelok.
Ia ingin menyampaikan kebenaran kepada masyarakat luas dan turut serta menegakkan keadilan.
Harapannya untuk Indonesia di masa mendatang, janjinya dengan Diah, dan pemandangan sawah yang asri sore itu menjelma tiga hal yang diingat Laras sebelum tiba tiba tubuhnya terasa panas dan dadanya mulai mengeluarkan cairan kental merah. Darah.
Kemudian gelap. Laras tidak tahu apa-apa lagi.
*
Hilangnya mahasiswi bernama Putri Larasati menjadi perbincangan hangat di kampus dan menjadi tajuk utama di beberapa koran lokal.
“Hari itu, Laras dipanggil polisi berkenaan dengan tulisannya di Majalah Lentera yang berjudul Menghitung Kekayaan Keluarga Presiden dan Saatnya Kita Gaungkan Reformasi. Saya tidak tahu dia datang atau tidak, yang saya tahu dan saya yakini, orang orang itu pasti terlibat.” Begitu penuturan Jonathan.
“Hari itu, dia berangkat kuliah seperti biasa. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang janggal. Bahkan, saya tidak menyangka akan ada kejadian seperti ini.” Begitu penuturan Santi.
Hilangnya Laras menjadi salah satu bukti kejamnya para penguasa, yang lantas menyulut amarah rakyat Indonesia. Hilangnya Laras—dan beberapa jurnalis serta aktivis lainnya—menjelma bom waktu bagi pemerintah. Tidak lama, terjadi demo besar-besaran di hampir seluruh daerah di Indonesia dengan tuntutan yang sama.
Reformasi.
Yang orang-orang itu tidak sadari, di hari yang sama di mana mereka membungkam Laras, lahir seorang bayi dari rahim seorang puan. Walau telah hilang ingatan-ingatan tentang kehidupan sebelumnya, perempuan itu membawa kobaran mimpi, jiwa, dan semangat yang sama. Ia bercita-cita ingin menjadi jurnalis. Ia ingin mengungkapkan kebenaran dan turut menegakkan keadilan.
Perempuan itu bernama Widya Kartikasari.
*
Jakarta, 2018
Widya baru saja turun dari panggung saat seorang wanita muda berkulit bersih menghampiri dirinya dan menyodorkan seikat mawar putih.
“Untuk saya?” tanya Widya.
Wanita itu mengangguk.
“Terima kasih,” kata Widya setengah tersenyum.
Wanita itu balas tersenyum, “Mbak mirip sekali dengan kakak saya, Putri Larasati.” Widya tertegun. Putri Larasati. Ia pernah mendengar nama itu. Salah satu jurnalis yang diduga dihilangkan secara paksa oleh pemerintah, yang hingga detik ini tidak pernah diketahui keberadaannya.
“Saya tidak ingat banyak sebab saya masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar tempo hari. Yang saya ingat, kakak saya masih muda sekali saat peristiwa itu terjadi. Dua puluh tahun, mungkin sepantaran dengan usia Mbak sekarang,” terang wanita yang dibalut pakaian hitam panjang itu, “dan yang saya ingat, ia berkeinginan kuat menjadi seorang jurnalis agar dapat mengungkapkan kebenaran kepada masyarakat luas.”
Widya mengangguk, “Putri Larasati adalah sosok yang hebat. Kami tahu itu, Mbak.”
“Saya tidak tahu sekarang dia ada di mana. Bagaimana kabarnya? Masih hidup atau tidak? Bila tidak, di mana kuburannya? Bila masih hidup, apa dia tidak ingin pulang? Apa dia tidak rindu dengan keluarganya? Apa dia tidak ingin berkunjung ke pusara ibunya? Apa dia tidak ingin melihat adik-adiknya yang sekarang sudah dewasa dan berkeluarga?
“Apa dia tidak ingin melihat keponakan-keponakannya yang lucu? Apa dia tidak ingin menemui saya dan menunaikan janjinya menemani saya bermain di Yogya Plaza? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui saya setiap malam.”
Wanita berpipi tembam itu mulai terisak, “Maafkan saya ya, Mbak. Saya memang lemah setiap kali harus mengingat kakak saya.”
Widya mengangguk, “Tidak apa-apa, Mbak. Seorang Putri Larasati pasti bahagia memiliki adik yang kuat seperti Mbak.”
“Begitu pula saya. Saya bahagia memiliki kakak yang luar biasa seperti dia. Andai saya bisa memutar waktu, saya akan melarangnya pergi hari itu,” ujar wanita itu, “ya sudah kalau begitu Mbak. Barangkali, Mbak mau ada kepentingan lain. Saya permisi.” Kemudian, wanita itu berlalu.
Tangan Widya mengepal. Perempuan yang menjabat sebagai ketua umum Pers Mahasiswa di kampusnya itu semakin membulatkan tekad untuk menjadi seorang jurnalis. Widya yakin, suatu saat, ia akan dapat mengungkapkan kebenaran di balik peristiwa peristiwa bersejarah yang kelam itu.
Sebab rezim sudah berganti dan reformasi sudah dimulai.
*
Kau bebas menikmati cahaya hasil darah dan peluru yang menembus tubuh mereka, lantas masih kau biarkan mereka terkubur dalam gelap dan ketidakpastian?—Menjadi Manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar