Jumat, 29 Oktober 2021

Cerpen: Mentari Terberai di Langit Merah Putih

Juara 1 Lomba Cipta Cerita Pendek Tingkat Nasional Tahun 2021, LENTSCAPE 4.0

oleh SMA IT Ummu Quro Bogor

Mentari Terberai di Langit Merah Putih

Karya: Alir Bening Firdausi

Written around June, 2021 

- dilarang melakukan plagiasi dalam bentuk apapun, baik secara disengaja maupun tidak disengaja - 

Jakarta, 2018 

“Ingatan bangsa ini kan pendek sekali. Baru saja dua dekade, orang-orang sudah lupa  siapa yang memiliki dosa dan bertanggung jawab di atasnya,” Wanita berambut lurus sebahu  itu tersenyum kecil setengah menyipitkan mata menahan kilau blitz puluhan kamera  wartawan, “itulah sebabnya mengapa Indonesia masih dan terus melakukan reformasi. Masih  banyak terjadi ketimpangan, terutama di bidang hukum.” 


“Lalu, apa harapan Mbak Widya dengan terselenggaranya acara Melawan Lupa ini?”


“Tidak muluk-muluk. Mewakili segenap keluarga korban, saya hanya berharap semoga kebenaran bisa segera terungkap dan keadilan bisa segera ditegakkan.”

Jakarta, 1998 


“Kamu kuliah hari ini selesai pukul berapa, Ras?” 


Yang ditanya tengah sibuk mengoles selai kacang ke atas selembar roti tawar sebelum  menyantapnya lahap sebagai sarapan, “Agak sore, Bu. Sekitar pukul empat,” sahut gadis  kelahiran 1978 itu tanpa memalingkan pandangan. 


Santi menarik kursi di seberang Laras, “Yang penting jangan sampai Magrib,”  wewelingnya yang langsung diiyakan putri sulungnya.


“Jangan lupa lho, Kak,” sambung bocah tembam yang duduk di kursi sebelah Laras,  “nanti malam kan kita mau ke Yogya Plaza!” Dengan mulut masih penuh, ia berujar. Pipinya  bergoyang ke kanan dan ke kiri.  


Laras tertawa gemas, “Ditelan dulu rotinya,” bisiknya. Jemari Laras lantas beralih,  dielusnya puncak kepala si bungsu yang berselisih dua belas tahun dengannya itu, “Iya, iya.  Enggak mungkin Kakak lupa, Diah. Nanti kita main bareng ya di sana.” 


Raut Diah seketika semringah. Ia mengacungkan kelingking mungilnya, “Janji?”


“Janji.” 


Dua hari lalu, Diah merengek minta diantar ke mal besar yang ada di daerah Klender  usai mendengar kabar burung dari temannya bahwa ada wahana permainan baru. Anak kelas  dua sekolah dasar mana yang tidak geger? 


“Lho, Adi mana, Bu?” tanya Laras menyadari ketidakhadiran anak tengah kesayangan ayahnya.


Adi sekarang sedang menganyam bangku kelas dua sekolah menengah pertama.  Anaknya pendiam, tetapi penurut. Berbanding seratus delapan puluh derajat dengan  kebanyakan remaja laki-laki di luar sana yang mulai mengenal huru-hara pergaulan bebas.  Merokok, tawuran, geng motor, mabuk. Bagi Adi, daripada waktunya terbuang sia-sia untuk  hal-hal yang tidak bermanfaat, lebih baik digunakan saja untuk tidur. 


“Masih di kamar. Hari ini, dia izin. Demam yang semalam belum turun juga,” sahut  Santi. 


Laras manggut-manggut, “Semoga besok sudah lebih baik, jadi Adi enggak  ketinggalan banyak pelajaran.” 


Dari ruang makan, indra penglihatan Laras dapat menangkap pemandangan seisi  rumah sederhana berdinding putih kalem itu. Ruang tamunya dihias satu set sofa lengkap  dengan vas bunga edelweiss dan asbak di meja. Ruang keluarga diisi kasur lantai merah  untuk bersantai, sebuah lemari kaca, dan sebuah televisi tabung yang pagi itu menyiarkan  berita sama seperti hari sebelumnya. 


Beberapa hari mendatang, International Monetary Fund akan mencairkan bantuan  dana sebanyak tiga miliar dolar kepada Indonesia yang rencananya hendak digunakan untuk  memperkuat cadangan devisa dan neraca pembayaran. Negara tetangga, Jepang dan Australia  juga setuju untuk memberikan bantuan sebesar masing-masing tiga ratus juta dolar. 


“Pada akhirnya, kita bertekuk lutut,” komentar Laras, “mau sampai kapan negara kita  begini ya, Bu?” 


Santi mengangkat bahu ringan sembari membereskan peralatan makan yang tercecer  di meja, “Lebih baik kita tidak usah tahu, Laras.” 


“Lho, mengapa kita tidak usah tahu?”


“Karena kalau kita tahu, nanti kita jadi peduli.” 


“Memangnya mengapa jika kita peduli dengan bangsa sendiri, Bu? Tidak ada yang  salah, kan?” 


Santi menggeleng pelan, “Laras, jangan mulai, deh.” 


Yang dinasihati tertawa renyah, “Lho, ini kan tugas Laras sebagai jurnalis, Bu,”  katanya, “jadi, bagaimana pendapat Ibu mengenai kebijakan ekonomi pemerintah saat ini?”  Laras mengepalkan telapak tangan bak tengah memegang mikrofon, kemudian diarahkan  kepada Santi. 


Melihat tingkah putrinya, Santi tergelak, “Wah, saya sih no comment.” “Tidak ada orang lain yang dengar kok, Bu. Tenang saja.” 


“Kata siapa?”


“Kata Laras,” ledek Laras, “ya sudah, Bu. Laras berangkat kuliah dulu. Takut  kesiangan. Assalamualaikum.” 


“Waalaikumussalam.” 

*

“Ada kabar apa?” sapa Laras. Ia mengunci pintu ruangan kecil nan kumuh di sudut  kampus yang dijuluki Ruang Sekretariat Pers Mahasiswa. Ia menjadi sosok yang paling  akhir datang, juga sosok pertama yang memulai pembicaraan. 


Sebenarnya, perempuan berkulit langsat itu tidak ada kelas pagi Senin itu. Kelas  pertamanya baru dimulai sekitar pukul sepuluh. Hanya saja, tengah malam sebelumnya,  Jonathan, sejawatnya yang merupakan ketua umum Persma menelepon, menginstruksikan  rapat paripurna pukul setengah delapan pagi. 


“Berhubung Laras sudah datang, aku langsung to the point saja ya,” Jonathan, lelaki  berkacamata tebal yang sedari tadi berdiri sambil menyilangkan tangan menghela nafas  dalam, “Lentera dibredel.” 


Mendadak hening. Dingin. Sepuluh kepala yang mengisi tempat yang hanya  bermodalkan dua buah jendela kayu sebagai sarana pertukaran oksigen itu seakan kehilangan  akal sehatnya masing-masing. Hanya embusan pelan yang mampu meluncur dari bibir  mereka. 


Tidak ada kata untuk waktu yang cukup lama, sebelum Laras menceletuk singkat,  “Perbuatan siapa?” 


“Kamu tahu soal itu Laras. Siapa lagi kalau bukan dia?” Jonathan melempar balik  pertanyaan. 


Laras meringis, “Lagi?” 


Jonathan mengangguk. 


“Kali ini, soal apa?” 


“Artikel Menghitung Kekayaan Keluarga Presiden dan Saatnya Kita Gaungkan  Reformasi.” 


Mendengar itu, Laras terbahak. Ada tiga jurnalis di Majalah Lentera Persma, namun  hanya tulisan dan buah pikirnya yang selalu dikasuskan. Entah dengan alasan dianggap  provokatif, melanggar privasi dan kode etik, bahkan pernah sekali dianggap kriminal.  Padahal, bagi perempuan berdarah Jawa itu, yang dilakukannya tidak lain hanyalah sebagai  bentuk pelaksanaan tugas. 


Bukankah, tugas utama seorang jurnalis adalah menyampaikan kebenaran? “Lalu, apa?”


“Selain Lentera edisi terbaru ditarik dari peredaran, sore ini kamu juga dapat  panggilan dari polisi, Ras.” 


Jonathan menyodorkan secarik kertas yang langsung diterima oleh Laras. Gadis berbaju merah itu tersenyum simpul, “Mengesankan. Orang-orang ini sangat  kagum dengan aku, ya, sampai-sampai ingin bertemu dengan aku?” desisnya dengan nada  bercanda, namun tertangkap jelas oleh seisi ruangan sebagai ungkapan kekecewaan. Seisi  ruangan tahu Laras sedang sarkasme belaka. 


“Lalu, bagaimana, Kak?” sambung Eli. 


Di antara sepuluh orang yang didominasi mahasiswa semester empat dan enam, Eli  menjadi yang paling muda. Ia satu-satunya mahasiswa semester dua yang tertarik dengan isu  politik dan bergabung dengan mereka. Posisinya sebagai penyunting, dengan bimbingan dan  arahan langsung dari Yola yang lebih senior. 


Jonathan mengetuk ujung meja. Dahinya berkerut, tatapan matanya mendadak tajam.  Di saat seperti ini, ia bukan lagi lelaki yang terkenal ramah dan penyabar oleh anak-anak  kampus. 


Jonathan mendesah, “Aku enggak tahu lagi untuk yang kali ini,” ungkapnya pasrah,  “maaf. Aku bukan ketua yang baik.” 


“Jangan bilang begitu, lah,” sindir Laras tidak suka, ia melangkah gontai mendekati  Jonathan dengan pandangan tegas, “kamu tahu kenapa kamu jadi ketua, Nath? Karena kami  percaya sama kamu. Kami yakin kamu bisa membawa Persma menjadi lebih baik. Dengan  kamu bicara seperti itu, secara tidak langsung kamu mencederai kepercayaan kami dan kerja  keras kamu selama ini.” 


Jonathan diam seribu bahasa, mencoba mencerna perkataan Laras. 


“Tapi …,” Yola yang sedari tadi duduk tenang di pojok ruangan menyaksikan rekan rekannya berbincang akhirnya buka mulut, “apa kalian enggak lelah? Apa kalian enggak  capai dengan tekanan yang kita dapatkan selama ini?” 


Laras berseru lantang, “Tidak,” yang sayangnya, disambut bisu oleh senasib  seperjuangannya. 


Hampa. Entah bagaimana lagi mendeskripsikannya. Mereka merenung dengan tatapan  kosong seakan pertanyaan Yola baru saja adalah beban yang sangat berat sekali melebihi  berat empat puluh gajah Sumatra. Bahkan termasuk Jonathan, sosok yang selama ini menjadi  tombak Persma. Sosok yang selama ini selalu maju di garda terdepan saat Persma tersandung  masalah. Sosok yang selama ini seperti pengeras suara, mendukung dan menyemangati tiada  henti.


“Karena besok, matahari akan bersinar lagi.”  


Itu adalah kalimat favorit Jonathan yang membekas jelas di ingatan Laras. Kalimat  yang membuat dirinya iri dengan wibawa, semangat, dan keteguhan yang dimiliki Jonathan.  “Aku enggak mau munafik,” lirih Jonathan, “aku lelah. Aku capai.” 


“Aku enggak percaya kamu bisa bilang kali—“


“Oleh sebab itu kamu harus percaya!” sela Jonathan dengan nada tinggi mengejutkan  seisi ruangan, “aku lelah, aku capai. Aku bisa merasakan semua itu karena aku ini masih  manusia, Ras. Apa kamu enggak pernah sekali saja merenungkan apa yang sudah kita lalui  selama tiga tahun ini?” 


“Pernah,” sahut Laras tenang. Ia tahu, Jonathan sedang diselimuti emosi. Ia menjadi  tidak terkendali. Mukanya memerah, amarahnya meluap-luap. Menyahut dengan emosi juga  bukanlah cara yang efektif. 


“Apa kamu enggak pernah sekali saja merasa lelah? Kita terus ditekan oleh petinggi  kampus. Biaya produksi majalah setiap semester dikurangi, sampai membuat kita hampir  mati mencari dana pengganti.” 


“Tidak.” 


“Apa kamu sungguh enggak lelah? Satu tahun lalu, ruang sekretariat kita dirusak  enggak tahu sama siapa dan pihak kampus menolak bertanggung jawab atas kerugian yang  kita alami, sampai membuat kita harus pindah ke tempat kotor seperti ini.” “Tidak,” tegas Laras. 


“Ah, tentu saja kamu enggak lelah. Karena kamu itu sumber masalahnya. Tulisan tulisanmu itu memang sebaiknya tidak pernah diterbitkan!” decih Jonathan. Telunjuknya  mengarah tepat ke muka Laras. 


Dan detik itu, hancur lebur sudah sosok seorang Jonathan di mata Laras. Tidak ada  lagi Jonathan yang berwibawa. Tidak ada lagi Jonathan yang dengan semangat dan  keteguhannya selalu membuat iri. Tidak ada lagi Jonathan dengan mimpi-mimpi besarnya  membawa Persma menjadi lebih baik lagi. 


Yang ada sekarang, hanya Jonathan dengan segala kelelahan dan keputusasaannya  menghadapi kenyataan pahit. 


Laras beringsut mengambil tas kepunyaannya, “Semua orang berhak bermimpi, Nath.  mimpiku? Selamanya, bahkan bila aku reinkarnasi dan hidup sekali lagi, aku tetap ingin  menjadi jurnalis. Aku ingin mengungkapkan kebenaran. Berada di Persma dengan posisi  seperti sekarang ini sudah sangat membuatku bahagia.”


Gadis jangkung itu lalu berjalan menuju pintu ruangan tanpa sedikitpun menoleh,  “Persis seperti ucapanmu dulu, Nath. Aku yakin, besok kita akan kembali seperti sedia kala.  Selalu ada lembar baru. Selalu ada semangat baru. Karena besok, matahari akan bersinar lagi.  Pasti.” 


Laras memutar kenop dan meninggalkan ruangan. Meninggalkan teman-temannya  yang tengah bertengkar dengan idealismenya masing-masing. 

*

Sore itu, kala langit mulai berwarna jingga, di hadapan bangunan berdinding kaca  yang sudah tidak berbentuk lagi, Laras menghentikan langkahnya. Ditatapnya dalam  bangunan yang dulu sempat menjadi Ruang Sekretariat Persma sekaligus Kantor Redaksi  Majalah Lentera. Bangunan yang menjadi saksi bisu dicederainya kebebasan berpendapat dan  kebebasan pes di tanah Indonesia. 


“Sudah lama ya, kita tidak berjumpa,” gumam Laras. 


Laras tidak mungkin melupakan kejadian malam itu.


Orang-orang berbondong-bondong melempari kantor redaksi dengan batu. Setelah  berhasil menjebol pintu masuk, mereka membabat habis seisi ruangan. Meja, almari, kursi,  komputer, semua benda yang ada di sana dibelah menjadi dua. Beberapa orang yang  membawa cat pilox menuliskan kalimat “BUBARKAN LENTERA” di banyak tempat.  Jalanan, rumah terbengkalai, spanduk.


Mereka yang tidak pernah Laras ketahui wajahnya sebab tertutup topeng hitam,  datang dengan amarah memuncak. Seperti baru saja ada kematian orang penting. Ada satu lelaki di antara orang-orang itu yang Laras kenali dari suara dan postur  tubuhnya. Dan dialah yang mengkoordinasi perusakan Ruang Sekretariat Persma malam itu.  Dia yang paling semangat memprovokasi massa. Dia, salah satu petinggi di kampus tempat  Laras belajar. 


“Hancurkan Lentera atau Lentera yang akan menghancurkan kita!” 


“Mereka sudah terlewat batas. Hancurkan saja!” 


Laras menghela nafas panjang. 


Perempuan berambut lurus sebahu itu merasa menjadi orang paling beruntung di  muka Bumi dapat selamat dari peristiwa nahas itu dan menjadi satu-satunya saksi kunci. Ya,  malam itu, ia ada di sana. Sendiri, di Kantor Redaksi Majalah Lentera, sibuk bergulat dengan  tulisannya. Saat penyerangan, Laras bersembunyi di kamar mandi. Entah bagaimana, orang orang itu tidak melihatnya. Tuhan Maha Baik.


Tanpa bukti, Laras memilih diam dan merahasiakan hal ini dari kawan-kawannya.  Bila ia buka suara, ia akan dapat apa? Pasal pencemaran nama baik? Skors dari kampus  karena dianggap menyebarkan berita palsu? 


Laras beranjak dari sana, melanjutkan perjalanan. Ada begitu banyak hal yang  berenang-renang di kepala. Ditemani bising suara kendaraan yang berkelintaran yang pada  akhirnya memaksanya menjauhi keramaian ibu kota, ia mempertanyakan makna kebebasan  berpendapat seperti yang tercantum di dalam Hak Asasi Manusia. 


Lucunya negeri ini. Kebebasan pers dibatasi. Suara-suara yang dianggap mengkritisi,  dibungkam. Orang-orang dipaksa manut dengan pemerintah. Jurnalis hanya diperbolehkan  menulis sisi-sisi baik rezim yang sedang berkuasa. 


“Pembodohan,” desis Laras. 


Sejak kecil, Laras sudah bercita-cita ingin jadi jurnalis. Tujuan awalnya sederhana  saja, ingin menjadi terkenal dan setiap hari wara-wiri di layar televisi. Semakin hari bergulir,  semakin ia melihat betapa menyedihkan Indonesia, tujuannya berbelok. 


Ia ingin menyampaikan kebenaran kepada masyarakat luas dan turut serta  menegakkan keadilan.  


Harapannya untuk Indonesia di masa mendatang, janjinya dengan Diah, dan  pemandangan sawah yang asri sore itu menjelma tiga hal yang diingat Laras sebelum tiba tiba tubuhnya terasa panas dan dadanya mulai mengeluarkan cairan kental merah. Darah. 


Kemudian gelap. Laras tidak tahu apa-apa lagi. 

*

Hilangnya mahasiswi bernama Putri Larasati menjadi perbincangan hangat di kampus  dan menjadi tajuk utama di beberapa koran lokal. 


“Hari itu, Laras dipanggil polisi berkenaan dengan tulisannya di Majalah Lentera  yang berjudul Menghitung Kekayaan Keluarga Presiden dan Saatnya Kita Gaungkan  Reformasi. Saya tidak tahu dia datang atau tidak, yang saya tahu dan saya yakini, orang orang itu pasti terlibat.” Begitu penuturan Jonathan. 


“Hari itu, dia berangkat kuliah seperti biasa. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang  janggal. Bahkan, saya tidak menyangka akan ada kejadian seperti ini.” Begitu penuturan  Santi. 


Hilangnya Laras menjadi salah satu bukti kejamnya para penguasa, yang lantas  menyulut amarah rakyat Indonesia. Hilangnya Laras—dan beberapa jurnalis serta aktivis lainnya—menjelma bom waktu bagi pemerintah. Tidak lama, terjadi demo besar-besaran di hampir seluruh daerah di Indonesia dengan tuntutan yang sama. 


Reformasi.


Yang orang-orang itu tidak sadari, di hari yang sama di mana mereka membungkam Laras, lahir seorang bayi dari rahim seorang puan. Walau telah hilang ingatan-ingatan tentang  kehidupan sebelumnya, perempuan itu membawa kobaran mimpi, jiwa, dan semangat yang  sama. Ia bercita-cita ingin menjadi jurnalis. Ia ingin mengungkapkan kebenaran dan turut  menegakkan keadilan. 


Perempuan itu bernama Widya Kartikasari. 

Jakarta, 2018 


Widya baru saja turun dari panggung saat seorang wanita muda berkulit bersih  menghampiri dirinya dan menyodorkan seikat mawar putih. 


“Untuk saya?” tanya Widya. 


Wanita itu mengangguk. 


“Terima kasih,” kata Widya setengah tersenyum. 


Wanita itu balas tersenyum, “Mbak mirip sekali dengan kakak saya, Putri Larasati.” Widya tertegun. Putri Larasati. Ia pernah mendengar nama itu. Salah satu jurnalis  yang diduga dihilangkan secara paksa oleh pemerintah, yang hingga detik ini tidak pernah  diketahui keberadaannya. 


“Saya tidak ingat banyak sebab saya masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar  tempo hari. Yang saya ingat, kakak saya masih muda sekali saat peristiwa itu terjadi. Dua  puluh tahun, mungkin sepantaran dengan usia Mbak sekarang,” terang wanita yang dibalut  pakaian hitam panjang itu, “dan yang saya ingat, ia berkeinginan kuat menjadi seorang  jurnalis agar dapat mengungkapkan kebenaran kepada masyarakat luas.” 


Widya mengangguk, “Putri Larasati adalah sosok yang hebat. Kami tahu itu, Mbak.”


“Saya tidak tahu sekarang dia ada di mana. Bagaimana kabarnya? Masih hidup atau tidak? Bila tidak, di mana kuburannya? Bila masih hidup, apa dia tidak ingin pulang? Apa dia  tidak rindu dengan keluarganya? Apa dia tidak ingin berkunjung ke pusara ibunya? Apa dia  tidak ingin melihat adik-adiknya yang sekarang sudah dewasa dan berkeluarga?


“Apa dia tidak ingin melihat keponakan-keponakannya yang lucu? Apa dia tidak  ingin menemui saya dan menunaikan janjinya menemani saya bermain di Yogya Plaza?  Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui saya setiap malam.”


Wanita berpipi tembam itu mulai terisak, “Maafkan saya ya, Mbak. Saya memang  lemah setiap kali harus mengingat kakak saya.” 


Widya mengangguk, “Tidak apa-apa, Mbak. Seorang Putri Larasati pasti bahagia  memiliki adik yang kuat seperti Mbak.” 


“Begitu pula saya. Saya bahagia memiliki kakak yang luar biasa seperti dia. Andai  saya bisa memutar waktu, saya akan melarangnya pergi hari itu,” ujar wanita itu, “ya sudah  kalau begitu Mbak. Barangkali, Mbak mau ada kepentingan lain. Saya permisi.” Kemudian, wanita itu berlalu. 


Tangan Widya mengepal. Perempuan yang menjabat sebagai ketua umum Pers  Mahasiswa di kampusnya itu semakin membulatkan tekad untuk menjadi seorang jurnalis.  Widya yakin, suatu saat, ia akan dapat mengungkapkan kebenaran di balik peristiwa peristiwa bersejarah yang kelam itu. 


Sebab rezim sudah berganti dan reformasi sudah dimulai. 

Kau bebas menikmati cahaya hasil darah dan peluru yang menembus tubuh mereka, lantas  masih kau biarkan mereka terkubur dalam gelap dan ketidakpastian?—Menjadi Manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

hope you enjoy!