Judul: Nirmala Bukan Nirmala
Karya: Alir Bening Firdausi
Written at 2021
Juara I DINUS Cerpen & Tulis Ilmiah Competition
"DICTIC 2021" cabang Cipta Cerpen
oleh Universitas Dian Nuswantoro
dilarang plagiat!
==============================================
“Nirmala Felicia Rosalin.”
Mendengar namaku
disebut, aku beranjak dari bangku dan menghampiri Bu Ika untuk mengambil nilai
ulangan harian Matematika yang diadakan seminggu silam.
“Selamat ya,” Guru muda berlesung pipi kesayangan
murid SMA Bakti itu membusur senyum.
Aku balik tersenyum, “Terima kasih, Ibu.”
Kupandangi kertas yang baru saja kuterima sekali lagi.
Hasilnya sama seperti biasa. Angka satu dengan bonus dua nol yang diukir dengan
tinta merah di sudut atasnya. Selalu membuat bangga saat menatapnya.
“Pasti Mala dapat
seratus lagi ya, Bu?” celetuk Bara sambil jemarinya mengetuk-ngetuk sebilah
pena di meja. Kebiasaan.
Lelaki berbadan tambun yang menjabat ketua kelas, yang
bertakhta di bangku pojok kanan belakang itu memiliki perangai tidak mengenakkan.
Disusul fakta saat ia buka suara walau sekecil decit tikus, satu ruangan dapat
mendengarnya. Namun, bagiku—dan seisi 12 MIPA 6—meskipun bandel, Bara merupakan
ketua kelas yang bertanggung jawab.
Wanita yang ditanyai Bara tidak menanggapi, lebih memilih
lanjut mengabsen nilai ulangan siswanya.
“Kacang lagi mahal, ya,
Ghan?” tanya Bara.
Ghani yang tengah resah
menanti panggilan, memelototi Bara, “Hush, saru! Aja ngawur!”
sahutnya dengan logat ngapak yang khas.
Bara terpingkal.
Berbeda seratus delapan
puluh derajat dari kawan sebangkunya, Ghani itu anak teladan berambisi keras. Kegemarannya
mengerjakan soal-soal dengan kesulitan tingkat tinggi. Ingin jadi Sarjana
Teknik Kimia, sampai tiga perempat masa putih abu-abunya dihabiskan untuk
belajar. Ghani tidak pernah macam-macam, sekadar membolos satu mata pelajaran
saja tidak pernah.
Ada miliaran pertanyaan yang tidak tersuguh
jawabannya. Salah satunya, aku tidak mengerti mengapa lelaki berkulit
putih—yang sekali terkena panggangan matahari langsung berubah semerah
tomat—itu bisa tahan tiga tahun duduk dengan Bara tanpa sedikitpun
terkontaminasi perilakunya. Apakah dia memakai jampi-jampi sebagai tameng?
“Seratus, Mal?” tanya
Sefia.
Aku terkekeh.
“Enggak heran, sih.
Calon dokter!” sanjung Sefia.
“Sudah berapa kali aku
bilang Sefi. Aku enggak mau jadi dokter,” tampikku.
Biar kata ratusan orang aku sudah cocok menjadi
dokter, didukung nilaiku yang nyaris selalu sempurna—minimal tidak pernah
menyentuh angka di bawah sembilan—aku tidak menyukai biologi. Akal logisku
tidak pernah bisa menerima persoalan genetika atau enzim atau apa itu lah.
Bagaimana cara sel A membentuk jembatan dengan sel B di dalam tubuh? Bentuk
jembatannya seperti apa? Apakah seperti penggaris busur derajat? Apakah seperti
batangan emas?
Daripada membayangkan
susunan alel atau memecahkan perbandingan individu dalam persoalan Hukum
Mendel, kepalaku lebih suka memusingkan sinus, cosinus, dan tangen. Satu jam
bergelut dengan matematika buatku lebih baik dibandingkan sepuluh menit
bermanja-manja di atas lembaran biologi.
Giliran gadis bermanik
cokelat itu yang terkekeh, “Oh iya, lupa. Calon analis data, kan?”
Aku mengangguk mantap.
“Selamat pagi,
Anak-anak.”
Sayangnya, tak lama Pak Aryo masuk untuk mengajar
biologi. Aku tidak tahu kapan pastinya Bu Ika meninggalkan ruangan ini. Yang
jelas, Kamis memang hari yang berat. Matematika, biologi, belum lagi nanti ada PPKn.
Siang hari cukup
bersahabat. Jika biasanya semesta November mengurai tangis habis-habisan, maka
kali ini ia memilih untuk menyimpan rasa dalam-dalam, membuat langit mendung
dan gumpalan kapas murung tersebab penasaran. Burung gereja menari di
antaranya, mencari tempat untuknya pulang. Atau sekadar singgah?
“Kamu pesan apa, Mal?
Mau aku barengin, nih,” tawar Sefia.
“Miyago sama es teh.
Biasa,” sahutku.
“Pedas atau enggak?”
“Sedang.”
Sefia mengacungkan ibu
jari.
Miyago alias mie ayam
goreng. Makanan kesukaan seisi sekolah yang hanya tersedia di kantin Bu Rumi. Selain
enak, harganya pun terjangkau. Omong-omong, kantin hari ini layaknya
minggu-minggu sebelumnya, padat. Indera pembauku menangkap aroma nasi goreng,
omelet, bakso goreng, dan keringat kepunyaan kakak kelas yang baru selesai
olahraga menyatu.
“Aduh,” Sesuatu
terbesit di benakku, “kelalen
enggak bawa duit!”
“Aku balik ke kelas,
ambil duit sebentar ya, Sef!” teriakku entah kepada siapa karena tujuanku telah
tenggelam di tengah kerumunan.
Seharusnya saat tiba di
kelas, aku disambut Ghani. Lelaki jangkung itu biasanya memilih menyendiri,
tinggal di ruangan saat istirahat dan memakan bekal yang dibawanya dari rumah. Pernah
sekali kutanya mengapa ia tidak bergabung dengan Bara serta yang lainnya.
Katanya, untuk menghemat uang saku.
Yang menyambutku sekarang ini justru seseorang yang
tidak ingin kutemui. Seseorang yang telah lama hilang dari peradaban. Seseorang
yang terakhir kali aku berjumpa, sangat berbeda dari biasanya. Ia di sana. Dengan
santai duduk di bangkuku.
“Apa kabar?” Dia membuka percakapan.
Pertengahan SMP menjelma kali pertama aku bertemu
dengannya. Ketika itu, pulang sekolah. Aku duduk di tepi lapangan yang terletak
tidak jauh dari bangunan tempatku menimba ilmu. Setiap hari aku ke sana, sendiri,
menyepi. Menenangkan diri. Kemudian dia datang, aku lupa dari arah mana. Yang
jelas aku ingat dia duduk di sampingku.
“Hai. Perkenalkan. Aku Ezra. Kamu pasti Mala, ya?” tebaknya, “Jangan tanya aku tahu
dari mana. Aku sudah lama memperhatikanmu. Kita kan bersekolah di tempat yang
sama.”
Aku hanya tersenyum. Bagaimana aku bisa mempercayai
perkataan seseorang yang baru saja aku temui? Sejujurnya, tidak banyak yang aku
ingat dari sore itu. Kami diam saja selagi angin menampar wajah berkali-kali.
Setidaknya satu hal yang berubah. Perasaanku. Tidak semuram biasanya.
Sosok Ezra tidak terlihat esok harinya. Demikian pula
lusa atau tiga hari setelahnya. Ia baru memunculkan figurnya kala aku
benar-benar butuh seorang teman. Seperti aku memiliki ikatan batin yang kuat
dengannya, padahal bagiku ia bukan siapa-siapa.
“Ingin cerita sesuatu?” tanyanya dengan
suara bass yang unik.
Ezra memiliki arti penyembuh. Maka pernah terlintas di
benakku, Ezra adalah sosok paling pas untuk seorang Nirmala yang penuh cacat di
dalamnya. Ia sosok paling sempurna. Aku tidak menyangkal ia memiliki paras
rupawan. Kulitnya putih bersih, rahangnya kukuh. Tubuhnya proporsional. Sosok
lelaki idamanku dan mungkin jutaan perempuan lain.
Kami berbeda kelas. Entah apa saja yang aku lakukan
selama dua tahun di SMP sampai tidak tahu ada lelaki seperti dia. Tetapi, dari
yang aku dengar, dia memang jarang menampakkan batang hidungnya.
Kegemaran Ezra adalah membolos. Bukan hanya sehari,
namun seminggu. Terkadang lebih. Sebab ia terlahir di tengah keluarga berada.
Ralat. Kaya. Kaya sekali. Setumpuk uang tentu saja dapat mengganti deretan
alfanya bukan?
“Bisakah aku percaya kamu?” Aku balik
bertanya.
Dia mengangguk mantap, “Mengapa tidak?”
Lalu, mengalirlah cerita dari sudut bibirku. Cerita
yang telah lama kupendam sendiri. Jauh sebelum detik itu, aku tidak punya
seseorang untuk berbagi. Jika ayah yang sejatinya kepala di keluargaku, tempat
di mana perempuan ini dikandung dan dilahir saja bisa berkhianat kepada bunda,
bagaimana bisa aku mempercayai orang lain?
“Kamu adalah perempuan terkuat yang pernah aku temui, La.”
Kalimat yang aku dengar darinya membuat duniaku
berotasi pada satu sumbu bernama Ezra Pramudita.
“Kamu itu cantik, baik, pintar. Selalu peringkat pertama di sekolah,” pujinya.
“Tetapi, aku tidak sesempurna itu, Ezra. Aku hanya … seorang yang rapuh.
Seorang yang kerap menangis di sepertiga malam meminta kehidupan yang lebih
baik.”
“Kamu ingin menjadi orang lain?”
“Jika aku dilahirkan kembali, aku akan bilang ke Tuhan untuk tidak
menjadi Nirmala.”
“Pernahkah kamu berpikir di luar sana ada banyak orang yang ingin
menjadi dirimu?”
“Mereka hanya ingin punya kelebihanku, Ezra. Tidak dengan kekuranganku.”
Aku mengakhiri masa putih biru bersama Ezra. Tidak ada
yang lain sebab aku tidak mempercayai siapapun selain dia. Teman sebangkuku? Sejak
awal aku tidak mempercayai tingkah manisnya di hadapanku. Ia mau berbagi bangku
denganku semata-mata karena nilai. Berkali-kali aku mendapatinya berbicara
busuk tentangku.
Tidak pernah aku berbicara tentang rencana studiku
kepada Ezra, tetapi sekali lagi aku seperti punya ikatan batin dengannya.
Dibuktikan dengan kami berhasil masuk ke SMA bahkan jurusan yang sama. Walau
ditempatkan di kelas yang berbeda. Kebiasaannya masih sama, masih suka
membolos. Bahkan akhir-akhir ini jauh lebih parah.
“Hai, Mala.”
Pada suatu Minggu, dia datang ke rumah membuat sejuta
kupu-kupu beterbangan di dada.
“EZRA! Ayo masuk!”
Bunda menghampiri ketika itu. Langsung saja, tanpa
basa-basi aku memperkenalkan Ezra.
“Bunda. Perkenalkan, ini Ezra, teman SMP Mala. Ezra, perkenalkan, ini
Bunda.”
Awalnya bunda terkejut. Raut yang tak pernah kulihat
sebelumnya muncul di permukaan wajahnya. Raut yang sama sekali tidak pernah
bisa aku mengerti. Baik hari itu, besoknya, bahkan bertahun-tahun sesudahnya.
“Oh iya, halo Ezra. Pasti kamu anak yang baik. Bunda titip Mala ke kamu,
ya?”
Walau bunda langsung kembali ke ruang tidur sewaktu
itu, aku bersyukur beliau merespon kedatangan Ezra dengan baik.
“Bundamu cantik, ya. Pantas anaknya begini.”
Aku tersenyum saja sembari mengajaknya duduk. Pikiranku
melayang-layang. Bunda bukan hanya cantik. Beliau adalah sosok ibu yang tidak
akan pernah terganti. Beliau pandai nyaris di segala bidang. Ketabahannya,
kelemahlembutannya, kebaikannya. Tidak akan ada yang bisa menyamainya.
Aku saja tidak pernah mengerti mengapa ayah dengan
mudah berpaling kepada wanita lain. Bunda kurang apa? Barangkali benar kata
pepatah. Rumput tetangga terlihat jauh lebih hijau dan segar. Bunda mendapatkan
segalanya, terkecuali cinta suaminya.
“Ezra, omong-omong sejauh dua tahun mengenalmu, kamu tidak pernah
bercerita jauh tentang dirimu. Aku pun ingin mengenalmu dalam layaknya kamu
mengenalku.”
“Bercerita jauh? Tentang keluargaku misalnya?” Tatapan Ezra mendadak nyalang, menembus langit-langit rumahku yang abu.
“Iya. Aku ingin mendengar ceritamu juga. Tidak etis rasanya jika kamu
yang terus-terusan mendengar ceritaku.”
Lelaki yang kala itu mengenakan kaus merah marun
berpikir panjang.
“Kurang lebih, kondisi keluargaku sama seperti kamu. Itu sebabnya aku
bisa mengerti perasaanmu lebih dari siapapun. Kita ini benar-benar mirip,
Mala.”
Aku diam.
“Oleh sebabnya, aku berjanji kepada diriku sendiri untuk selalu ada di
sisimu, mendukungmu. Menopangmu ketika rapuh,” ujarnya.
Aku bahagia mendengar pernyataan itu. Tidak lagi
setelah mengetahui kenyataannya.
Percakapan itu menjadi yang terakhir. Janji itu
menjadi penutup kisah kami.
Ezra tidak lagi ada untuk menemaniku seperti janjinya.
Ia tidak ada saat aku frustrasi menjalani rawat jalan. Bunda tidak pernah
memberi tahu apa penyakitku, yang pasti kepalaku sering tiba-tiba sakit bak
ditumbuk lesung berjuta kali. Obat yang kutelan setiap hari pun bukan hanya
satu atau dua biji. Lima biji, itu saja harus dikali tiga.
Ia tidak ada saat aku benci semua orang, bahkan diriku
sendiri.
Sekali waktu, lama sekali sejak terakhir kali kami
berbincang, dia mendatangiku. Aku bahagia. Namun, Ezra justru menghancurkan
ekspektasiku.
“Mengapa baru sekarang kamu datang?” tanyaku.
“Mengapa kamu tanya aku? Mengapa kamu tidak tanya dirimu sendiri?”
“Apa maksudmu, Ezra?”
“Kamu membenciku, kan? Kamu ingin aku lenyap dari kehidupanmu?”
Aku membusur tatapan tidak mengerti kepada matanya
yang berapi-berapi.
“Kamu tidak mengerti maksudku?”
Aku menggeleng.
“Lupakan. Lagi pula aku sekarang membencimu.”
Air mataku menitik.
“Kamu ini bodoh, tidak punya pendirian. Kamu ini lemah! Keluargamu
berantakan, ayahmu mencampakkan bundamu dan kamu. Tidak ada yang sungguh
mencintaimu, La. Tidak ada yang akan mau menerimamu!”
Duniaku runtuh. Aku merupakan
orang paling bodoh sedunia sudah memercayai lelaki bernama Ezra. Ternyata
sejauh empat tahun mengenalnya, dia hanya tengah memungut kisahku untuk dirakit
menjadi sebuah bom. Bom untuk menghancurkan aku.
“Mengapa kamu ada di
sini?” ketusku.
Sejak hari itu, aku
tidak pernah berbicara dengannya. Paling, melihat bayangannya sepintas melewati
ruang kelasku.
“Hanya ingin menyapa.
Kamu pasti rindu denganku, kan?”
“Tidak,” tandasku.
“Bohong,” tepisnya, “aku
tahu kamu berkali-kali mencoba menyingkirkanku. Tetapi, selalu gagal.”
“Apa dasarnya kamu
bilang begitu?” desakku.
Ezra beranjak. Berjalan
santai menyambangiku. “Buktinya kita masih bertemu.”
Aku terhenyak.
“Mala, coba tanya
dirimu sendiri. Tanya dirimu yang sejatinya tidak pernah betul-betul kamu
kenal. Sanggupkah kamu melupakanku?”
Kepalaku memanas
mendengar ucapannya.
“Aku enggak pernah tahu
mengapa kamu berubah begini.” Aku menuntut penjelasan dari Ezra, namun yang ada
pernyataanku justru memantul.
“Aku berubah karena
kamu.”
“Sekarang kamu mau
apa?” Nada bicaraku meninggi.
“Seperti apa yang kamu
inginkan, jauh di lubuk hatimu. Aku ingin kamu lenyap.”
*
“Mala … Mala …. It’s
okay. It’s okay ….” Sefia mengusap punggung kawan sebangkunya yang kini
tengah menangis di pelukannya.
Gadis pemilik rambut hitam bergelombang itu mendadak
dirundung hawa tidak enak ketika mendapati Mala tidak di tempat semula.
Dugaannya, Mala pasti kembali ke kelas sebab lupa membawa uang saku seperti
biasa. Usai menitipkan miyago kepada Kirana, salah satu teman organisasinya,
Sefia menyusul Mala.
Dilihatnya Ghani mematung di luar kelas, samar-samar disusul
teriakan dari dalam ruangan.
Mala tidak keruan. Rambutnya berantakan ulah tangannya
sendiri. Wajahnya bengkak dihujani air mata. Puluhan kali yang terucap dari
bibirnya adalah sama. “Pergi kamu, Ezra!
Aku benci kamu! Kamu gila, aku belum mau mati!” membuat hati Sefia ngilu
bak terpencar-pencar menjadi ribuan keping.
“Dia sudah pergi, Mal. Ezra sudah pergi,” lirih Sefia,
“dia enggak akan melukai kamu lagi. Karena ada aku, ada Ghani, ada Bara. Ada
kita semua, Mal, teman-teman kamu.”
“Aku benci dia, Sef. Aku benci Ezra,” ujar Mala.
“Aku tahu, Mal,” Sefia mengeratkan pelukannya,
kemudian membenamkan kepalanya di pundak Mala untuk menumpahkan isaknya di
sana.
Namanya Nirmala. Artinya sempurna, tanpa cacat. Sefia
setuju. Dia sungguh beruntung memiliki kawan sebangku seperti Mala. Pintar,
baik, tidak sungkan untuk mengajarinya materi yang sukar dipahami, aktif di
organisasi, dan sebagai bonus, cantik. Sekali. Semua orang ingin menjadi Mala.
Hingga pada suatu ketika, beberapa jam setelah ia
selesai kerja kelompok di rumah Mala, Sefia mendapat satu panggilan suara.
“Tante ingin menitipkan Mala kepada Sefia. Tante yakin, Sefi anak yang
baik.”
Sefia bingung sewaktu itu, sebelum kalimat selanjutnya
menjelaskan semuanya.
“Mala itu … sedikit berbeda. Dia ada … skizofrenia. Jadi, Tante hanya mau
pesan satu. Tolong temani dia, ya? Tolong jangan jauhi dia. Tolong ajak dia
cerita.”
“I—iya, Tante.” Itu saja yang bisa Sefia
katakan.
“Tolong jangan biarkan delusinya lebih nyata dari realita, ya?”
Sefia tidak mengenal siapa Ezra. Karena memang
realitanya, tidak pernah ada nama itu baik di sekolah maupun di kehidupan Mala.
Ezra tidak lebih dari sekadar delusi Mala. Delusi yang menyakitkan. Delusi yang
pada beberapa kasus, meminta inangnya untuk melukai, bahkan melenyapkan diri
sendiri.
Sudah lama skizofrenia
Mala tidak kambuh. Terakhir, dua bulan lalu.
Pertama kali melihat Mala kambuh, Sefia—dan lainnya—bingung
bukan kepalang. Sebelum ia ingat petuah bunda Mala. Penyakit mental itu tidak
sama dengan penyakit fisik. Memang sama-sama butuh pengobatan dan perawatan,
tetapi, ketika kambuh, penderita lebih membutuhkan dukungan dari orang sekitar.
Penderita hanya butuh orang lain menenangkannya.
Bara tergopoh-gopoh menghampiri Sefia usai lari cepat
dari ruang guru, “Aku su—sudah minta izin ke Bu Yanti bi—biar Mala tidak ikut
pelajaran PPKn dulu. Biar dia bi—bisa istirahat.”
Sefia mengiyakan ucapan ketua kelasnya. Tadi, Sefia refleks
meminta Ghani menelepon Bara. Sefia juga refleks meminta anak 12 MIPA 6 tidak
masuk ke ruang kelas dulu, demi memberi udara segar yang cukup untuk Mala.
Tangis Mala sudah mereda. Ia jauh lebih tenang dari
sebelumnya. Namun, tubuh gadis itu kini lemas tidak berdaya. Dengan penuh
inisiatif, Sefia dibantu dengan Nadia dan Manda merengkuh Mala, membawanya ke
Unit Kesehatan Sekolah.
Tidak pernah sekalipun terbesit pemikiran buruk mereka
soal Mala. Semua sepakat Mala adalah manusia terhebat yang pernah mereka temui.
Mereka menyayangi Mala. Bukan hanya sebagai teman kelas,
namun juga sebagai sahabat. Sangat. Walau Mala tidak banyak bicara. Walau Mala
tidak begitu terbuka dengan mereka. Yang terpenting, mereka sudah berusaha
membahagiakan Mala. Dan akan selalu begitu.
Mereka telah berjanji, akan senantiasa ada di
fase-fase terberat itu. Mereka telah berjanji, akan tetap sabar melalui proses
demi prosesnya.
Sebab mereka yakin, akan tiba waktu ketika delusi Mala
tak lebih nyata dari realitanya.
Akan tiba masa saat Mala bisa menemukan Sefia dan yang
lainnya dalam segala sedih dan resahnya. Menceritakannya, membagikannya agar
semua beban tidak ditanggungnya seorang diri.
Akan tiba hari di mana Mala bisa tersenyum dan tertawa
lepas bersama mereka.
Seperti sedia kala.
Seperti seharusnya.