Sabtu, 13 Februari 2021

#3: Prolog Juni

Kalau buku ketigaku ini, aku tulis sewaktu ikut lomba tema Juni yang diadakan oleh sebuah penerbit indie ternama, Ellunar Publisher😁 Walau belum mendapat kesempatan untuk menjadi juara, Alhamdulillah karyaku terpilih untuk diterbitkan dalam bentuk antologi puisi😂

Jujur, itu kali pertama aku ikut lomba cipta puisi, belok banget deh soalnya biasa aku nulis cerpen. Ceritanya sih, lagi ingin mencoba sesuatu yang baru aja. Eh, sekarang malah kecanduan😭

Oh iya, bukuku ini juga merupakan comebackku setelah 3 tahun lamanya enggak nerbitin buku. Sekitar 3 tahun itu, aku fokus menulis di platform Wattpad, walau sekarang hiatus lagi, huhu.



Judul: Prolog Juni

Penulis: Amrillahime, dkk.

Penerbit: Ellunar Publisher

Cetakan pertama: Agustus 2019

Karyaku di sini berjudul Kakofoni Bulan Juni.

Kalau teman-teman ketemu sama buku ini, jangan lupa dikoleksi dan jangan lupa dibaca yap😺 Oh iya, kalau berminat memesan, bisa langsung cek di sini.

Rabu, 10 Februari 2021

#2: Komik KKPK NextG "Bola-bola Cokelat"

Buku keduaku!
Aku tulis ini sewaktu masih SMP kelas 7, hehe😄

Dan sekitar satu tahun lalu, aku menerima sebuah paket berisi bukuku ini dengan cetakan sampul dan lini yang berbeda. Namanya Komik NextG.

Judul: Komik NextG "Bola-bola Cokelat"

Penulis: Rr. Diandra Putri Amanda, Fahira Khairunnisa Nandira, Almasah Jauzah Humagi, Alir Bening Firdausi

Sketsa: Indha, Rudy, Dzaki, Satrio

Penerbit: Muffin Graphics

Cetakan pertama: Juli 2016
Cetakan kedua: Maret 2017
Edisi I Komik NextG Cetakan pertama: Desember 2018
Edisi II Komik NextG Cetakan pertama: Agustus 2019

Saat Putri sedang bosan karena tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan di rumah, mama punya ide seru untuk membuat bola-bola cokelat. Walaupun awalnya Putri kesulitan, membuat bola-bola cokelat tetap menyenangkan. Yuk, kita lihat Putri dan mama membuat bola-bola cokelat!

===================================================
Karyaku di sini judulnya The Grand Piano💗 Walau tahun kemarin aku belum menerima kabar kalau bukuku yang ini cetak ulang (sebenarnya mungkin saja cetak ulang hanya aku enggak kedapatan buktinya), tapi kalau lihat buku ini jangan lupa dibeli dan dibaca ya, Temen-temen!😸

Sabtu, 06 Februari 2021

#1: Komik Mia the Ghost Hunter "Scarecrow"

Okay.
Jadi, ini buku pertamaku, bener-bener pertama banget WKWKW. Aku nulis ini pas masih zaman SD kelas 5.

Judul: Mia the Ghost Hunter "Scarecrow"

Penulis: Estu Sekar Pertiwi, Alir Bening Firdausi, Isabella Aisyah Yasmin, Endah Rahayu

Lain-lain: Satrio (pensil), Geugeu (tinta), Rendra (warna)

Penerbit: Muffin Graphics

Cetakan pertama: Februari 2015

Salah satu teman Mia, Danu, dihantui orang-orangan sawah. Mia yang takut boneka pun ikut lari, dikejar hantu orang-orangan sawah yang bagi Mia seperti boneka. Hmmm, kenapa ya, Danu terus dikejar orang-orangan sawah itu? Apa Mia dan Meng bisa membantu Danu?
============================================
Ada karyaku di sini judulnya Misteri Konser di Sekolah😅 Walau udah lama gak cetak ulang, tetapi kalau teman-teman ketemu penampakan seperti ini, jangan lupa dibaca ya!

Rabu, 03 Februari 2021

Spill the Tea: Pengalaman Ikut DICTIC!

Hai!

I am here.

Agak bingung juga sih, blog ini mau diisi apa. Mungkin ke depannya aku isi random things kayak segala sesuatu yang berhubungan sama menulis, review film, rekomendasi lagu, pengalaman pribadi, dan lain-lain. Dinikmati aja deh, keabsudran pemiliknya😂

Kali ini, aku mau sharing pengalaman pribadi aku ikut DINUS Cerpen & Tulis Ilmiah Competition a.k.a. DICTIC yang diadakan oleh Universitas Dian Nuswantoro, sebuah universitas swasta akreditasi A di Semarang. Ini kali pertama dan terakhir aku ikut DICTIC. 

Kenapa?

KARENA AKU UDAH KELAS 12, HAHAHAHA (sedih sedikit)

Jujur, aku baru tahu lho ada event se-luar biasa ini. Taunya pas udah pandemi lagi, ya (fine, selama pandemi aku jadi lebih produktif dalam berkarya). Tapi, agak nyesek juga karena enggak bisa hadir di acara ini secara langsung sebab acara ini diadakan secara virtual💁

Dari awal banget, deh. Aku tau ada acara ini, tuh, dari Instagram (I do collect any informations from IG and Telegram). Sempat ragu juga mau ikut apa enggak karena temanya cukup berat, yakni kesehatan. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk mendaftarkan diri, itung-itung gratis dan sabi buat nambah pengalaman. Masalah aku mau bikin cerita apa itu nantian. Masalah ceritanya nyambung sama temanya apa enggak itu juga nantian😭

Aku daftar tanggal sekitar tanggal 20 Januari 2021. Habis hari itu, otakku muter-muter, enggak tenang pokoknya mikirin aku harus nulis apa. Omong-omong soal kesehatan, aku enggak kepikiran sama sekali untuk menulis cerita tentang C0V1D. Dan aku juga enggak kepikiran untuk nulis cerita penyakit fisik.

Yang ada di pikiranku apa?

Penyakit mental.

Karena aku ada kenalan yang memiliki penyakit mental, yakni skizofrenia ini yang pada akhirnya aku angkat menjadi sebuah cerita.

Tapi aku sangsi kan, ya. Memangnya boleh? Memangnya termasuk dalam tema?

Akhirnya tanggal 22 Januari aku memberanikan diri buat tanya ke kakak panitianya. Terus jawabannya? Betul, tema kesehatan ini tidak terbatas pada kesehatan fisik aja. Namun, tetap harus memperhatikan subtema yang diperlombakan.

Masalah subtema itu sendiri, aku udah pikirin kalau aku bakal ambil subtema generasi peduli sehat.

Why?

Supaya lebih relate dengan kehidupan kita sebagai remaja.

Nah, sekitar tanggal 23 Januari, aku mulai melakukan penelitian kecil-kecilan. Aku baca sekitar sepuluh artikel mengenai skizofrenia ini. Aku juga ada nonton sekitar tiga video dokumenter dan kesaksian orang yang pernah mengidap skizofrenia ini. Dari tiga video itu, ada salah satu yang bilang kalau dulu sewaktu dia masih ada skizofrenia, dia merasa kalau dia memiliki pacar yang sesuai tipe dia banget deh. Aku ambil bagian ini buat jadi konflik dalam cerita.

Lalu, malam harinya, aku wawancara teman aku yang punya skizofrenia tadi. Bukan tentang penyakitnya, namun lebih kepada respon orang sekitar. Aku tanya, bagaimana sih respon sekitar dia kalau lagi kambuh? Kalau kambuh, apakah perlu dikasih minum obat? Apakah kalau kambuh perlu langsung dibawa ke dokter?

Tujuannya apa?

Aku enggak mau ada miss informasi. Sebagai penulis, aku ingin tulisanku enggak sekadar menghibur, tetapi juga mengedukasi👩

Tanggal 24 Januari, baru aku mulai nulis. Serius, deh, padahal deadlinenya tuh tanggal 25 jam 22.00 WIB. Tapi, aku emang pejuang deadline, Gais! Harus nunggu mepet dulu, baru ada ide.

Di hari itu, aku cuma dapet 800 kata, padahal minimal 2000 kata 5 halaman. Panik enggak aku? BANGET!

Aku sampai curhat ke temenku, kira-kira bisa enggak ya, tanggal 25 itu aku nulis minimal 1200 kata. Lagian gimana lagi, ya. Mau lanjut udah enggak kuat. Aku nulis itu sampai jam 1 dini hari. Kan enggak mungkin aku terusin kalau otak dan tubuh ini udah meronta-ronta nyuruh aku tidur.

Dan tanggal 25 itu, tau apa yang aku lakuin? NGEBUT. Hahahahaha. Habis PJJ, aku bener-bener nangkring di depan laptop tanpa berhenti. Dan cerpenku jadi sekitar pukul 8 malem. Jujur, aku tipe orang yang suka minta pendapat orang lain dulu sebelum submit karya. Khusus cerpen yang ini, aku langsung submit no matter what they say😎

Dan yah, aku enggak sadar ada salah ketik sekitar 2 kata.

Tanggal 29 Januari, ada notifikasi dari grup lomba, pengumuman 12 besar! Dan ada namaku di situ, di peringkat 3.

Ada pengumuman juga untuk 12 besar ini, nantinya tanggal 2 Februari disuruh melakukan presentasi.

Di situ aku yang kayak NANIIIIII (WHATTTTT). Memang di juknisnya ada tanggal pemaparan karya, tetapi aku kira cuma untuk cabang lomba KTI aja. Ternyata yang cerpen iya, Cuy😭

Tanggal 30 Januari itu, kami (12 besar dan panitia) ada technical meeting via Zoom.

Aku sempet pesimis, jujur. Kepikiran mengundurkan diri? IYA, HAHAHA😓 Malah kepikiran gini, aku mengumpulkan PPTku, tetapi pas hari H presentasi, aku mobal *JANGAN DITIRU GAES.

Karena aku orang yang terbiasa bekerja di balik layar. Aku suka menulis cerita, tetapi enggak suka kalau harus memaparkannya kepada orang lain. Ini orang asing lagi, ya😭 Walau aku anak OSIS, tetapi aku ini dulunya introvert banget. Sumpah, kalau disuruh public speaking, aku bawaannya deg-degan banget, kalau ngomong jadi enggak jelas, takut salah, kayak mau modar aja.

Tetapi, bukan Alir namanya kalau enggak berani mencoba sesuatu yang baru😣 Aku terus-terusan menanamkan mindset ini: Orang-orang yang sukses seperti presiden, menteri, manager perusahaan adalah mereka yang mau berbicara di depan publik. Intinya, AKU HARUS KELUAR DARI ZONA NYAMAN! Aku enggak mau bukan berarti aku enggak bisa!

Tanggal 1 Februari, aku mengunggah sebuah snapgram di akun keduaku, minta tips 'n trik biar enggak gugup waktu presentasi di depan orang asing. Dan ini jawaban temen-temenku yang aku kompilasi, terus aku pajang di tembok kamarku biar bisa aku baca terus dan bisa aku inget terus😫


How to not be nervous by
temen-temenku:
1. Bismillah💖
2. Enjoy, be yourself!😊
3. Regangin badan, jangan tegang, pakai bahasa tubuh
4. Percaya apa yang kita ucapkan bener
5. Sebelum presentasi, minum air putih dulu

Aku baru buat PPT tanggal 1 Februari itu. Dan malam hari sebelum presentasi, aku juga nulis sekitar 4 lembar apa yang bakal aku presentasiin. Eh, btw, aku punya sedikit tips nih!

Buat PPTmu sesingkat mungkin, bedain kata yang sekiranya perlu kamu jelaskan nantinya saat presentasi. 

Maksudnya gimana?

Gini contohnya (ini PPT yang aku pakai kemarin waktu presentasi)


Lihat deh, di bagian faktor genetik, sistem kimiawi otak, dan lingkungan aku kasih warna yang beda. Tujuannya apa? Ngasih tanda ke aku kalau itu lah waktu yang tepat buat aku kasih penjelasan secara rinci. Sisanya? Aku baca sesuai PPT aja.

Apakah aku sempat mencoba presentasi?

ENGGAKKKK!😌

Mana sempat! Aku memilih untuk tidur lebih awal malam itu. Biasanya aku tidur pukul 1 dini hari, khusus malam itu, aku tidur jam 11.

Pagi tanggal 2 Februari, aku bangun pagi karena acaranya juga mulai jam 8. Jam setengah 8, aku urus perizinan PJJ dulu.

Dan dimulai deh!

Jujur, aku DEG-DEGAN seperempat mati waktu tahu kalau jurinya bukan mahasiswa tetapi DOSEN😭 Pikiranku udah terbang kemana-mana.

Pertama presentasi 12 besar LKTI dulu, baru cerpen. Aku di urutan ketiga dan tiba saatnya aku presentasi. Aku ikutin semua anjuran temen-temen aku.

Entah keajaiban dari mana, LANCAR JAYA CUY😆 Walau di awal mleyat-mleyot sedikit, tetapi semakin ke belakang, bawa enjoy aja lah. Malah presentasiku melebihi batas waktu yang diperbolehkan dan langsung dipotong sama kakak panitia😣 Sempat bikin aku minder juga kan, jadi negatif thinking kira-kira masuk 3 besar enggak karena presentasiku enggak khatam!

Skip, anggap aja semua peserta udah presentasi karyanya dan udah ishoma.

Tiba saatnya pengumuman tiga besar.

Dan namaku disebut di urutan kedua😭💙

Seneng? Banget! Tapi juga gerogiku nambah berkali-kali lipat karena di 3 besar ini, aku harus presentasi ulang DAN AKAN TANYA-JAWAB SAMA JURI.

Udah kan presentasi 3 besar LKTI dulu yang semuanya keren-keren abis!😮 Terus datang waktunya saat aku presentasi~

Dan kalian ingin tahu apa yang terjadi?

Sebuah keajaiban. Lagi.

Aku enggak tahu kenapa tetapi AKU DIBEDAIN😭 Kalau peserta lain harus presentasi ulang, aku enggak! Langsung tanya jawab sama juri. Dan kalian tahu jurinya bilang apa ketika aku tanya, "Bisa saya lanjut presentasinya, Pak?"

Beliau jawab, "Enggak. Saya ingin mengobrol saja dengan kamu."

Aku sempat lihat ekspresi kakak-kakak panitia yang cengar-cengir keheranan😭👍

Aku sendiri lupa ekspresi gimana yang tertampil di wajahku waktu itu. Yang jelas aku kaget, tetapi juga seneng dan excited banget.

Beliau tanya hal-hal yang berkaitan dengan cerpenku. Seperti,

"Kenapa memakai alur maju-mundur, bisa dijelaskan?"

"Kenapa kamu bisa dapat ide cerita seperti ini? Kenapa skizofrenia?"

"Kenapa kamu memakai italic dalam banyak percakapan?"

Sampai yang enggak nyambung sama sekali dengan ceritaku.

"SMA N 1 Purwokerto itu yang di depan gereja kan, ya?"

"Dari Purwokerto, Banyumas, ada penulis yang terkenal. Siapa coba?"

"Pernah baca karyanya (Ahmad Tohari)?"

Terus beliau memberikan kritik terhadap PPTku. Katanya, seharusnya bagian pengenalan skizofrenia itu enggak usah ada. Cukup unsur intrinsik cerpen saja.

Hilang semua kegugupanku, tergantikan oleh rasa "PARAH, ASIK BANGET!"

Aku enggak tahu aku tanya jawab dengan beliau berapa lama. Mungkin sekitar 10 menit? Enggak kerasa soalnya serasa sedang ngobrol dengan temen sendiri😀

SkIP!

Tiba saatnya pengumuman.

Dan ... JENG JENG JENG!!!!

Alhamdulillah aku mendapat juara pertama😭

Sama sekali enggak nyangka. Karena aku se-pesimis itu! Karena aku tahu sainganku adalah siswa SMA/K sederajat di Indonesia. Aku enggak pernah nyesal ikut acara DICTIC ini, karena aku bisa kenal dengan peneliti muda dan cerpenis muda yang keren-keren banget!

Terima kasih untuk semua yang ada; Tuhan Yang Maha Esa, orang tuaku yang selalu mendukung, temen-temenku yang selalu berbesar hati mau membaca dan memberi kritik terhadap karyaku. Terima kasih banget buat kakak-kakak panitia UDINUS *send lots of love💘 yang udah dengan sabar membimbing dari awal. Terima kasih untuk dewan juri yang kece dan kekinian abis. Dan terima kasih juga untuk teman-teman seperjuanganku, sesama peserta lomba.

Untuk penampakan cerpen yang menjadi juara itu, temen-temen bisa cek di sini.

Ditunggu DICTIC selanjutnya!!*yang enggak bisa aku ikutin karena udah enggak cukup umur😌😆

Selasa, 02 Februari 2021

Cerpen: Nirmala Bukan Nirmala

Judul: Nirmala Bukan Nirmala

Karya: Alir Bening Firdausi

Written at 2021

Juara I DINUS Cerpen & Tulis Ilmiah Competition

"DICTIC 2021" cabang Cipta Cerpen

oleh Universitas Dian Nuswantoro


dilarang plagiat!
==============================================

“Nirmala Felicia Rosalin.”

Mendengar namaku disebut, aku beranjak dari bangku dan menghampiri Bu Ika untuk mengambil nilai ulangan harian Matematika yang diadakan seminggu silam.

“Selamat ya,” Guru muda berlesung pipi kesayangan murid SMA Bakti itu membusur senyum.

Aku balik tersenyum, “Terima kasih, Ibu.”

Kupandangi kertas yang baru saja kuterima sekali lagi. Hasilnya sama seperti biasa. Angka satu dengan bonus dua nol yang diukir dengan tinta merah di sudut atasnya. Selalu membuat bangga saat menatapnya.

“Pasti Mala dapat seratus lagi ya, Bu?” celetuk Bara sambil jemarinya mengetuk-ngetuk sebilah pena di meja. Kebiasaan.

Lelaki berbadan tambun yang menjabat ketua kelas, yang bertakhta di bangku pojok kanan belakang itu memiliki perangai tidak mengenakkan. Disusul fakta saat ia buka suara walau sekecil decit tikus, satu ruangan dapat mendengarnya. Namun, bagiku—dan seisi 12 MIPA 6—meskipun bandel, Bara merupakan ketua kelas yang bertanggung jawab.

Wanita yang ditanyai Bara tidak menanggapi, lebih memilih lanjut mengabsen nilai ulangan siswanya.

“Kacang lagi mahal, ya, Ghan?” tanya Bara.

Ghani yang tengah resah menanti panggilan, memelototi Bara, “Hush, saru! Aja ngawur![1]” sahutnya dengan logat ngapak yang khas.

Bara terpingkal.

Berbeda seratus delapan puluh derajat dari kawan sebangkunya, Ghani itu anak teladan berambisi keras. Kegemarannya mengerjakan soal-soal dengan kesulitan tingkat tinggi. Ingin jadi Sarjana Teknik Kimia, sampai tiga perempat masa putih abu-abunya dihabiskan untuk belajar. Ghani tidak pernah macam-macam, sekadar membolos satu mata pelajaran saja tidak pernah.

Ada miliaran pertanyaan yang tidak tersuguh jawabannya. Salah satunya, aku tidak mengerti mengapa lelaki berkulit putih—yang sekali terkena panggangan matahari langsung berubah semerah tomat—itu bisa tahan tiga tahun duduk dengan Bara tanpa sedikitpun terkontaminasi perilakunya. Apakah dia memakai jampi-jampi sebagai tameng?

“Seratus, Mal?” tanya Sefia.

Aku terkekeh.

“Enggak heran, sih. Calon dokter!” sanjung Sefia.

“Sudah berapa kali aku bilang Sefi. Aku enggak mau jadi dokter,” tampikku.

Biar kata ratusan orang aku sudah cocok menjadi dokter, didukung nilaiku yang nyaris selalu sempurna—minimal tidak pernah menyentuh angka di bawah sembilan—aku tidak menyukai biologi. Akal logisku tidak pernah bisa menerima persoalan genetika atau enzim atau apa itu lah. Bagaimana cara sel A membentuk jembatan dengan sel B di dalam tubuh? Bentuk jembatannya seperti apa? Apakah seperti penggaris busur derajat? Apakah seperti batangan emas?

Daripada membayangkan susunan alel atau memecahkan perbandingan individu dalam persoalan Hukum Mendel, kepalaku lebih suka memusingkan sinus, cosinus, dan tangen. Satu jam bergelut dengan matematika buatku lebih baik dibandingkan sepuluh menit bermanja-manja di atas lembaran biologi.

Giliran gadis bermanik cokelat itu yang terkekeh, “Oh iya, lupa. Calon analis data, kan?”

Aku mengangguk mantap.

“Selamat pagi, Anak-anak.”

Sayangnya, tak lama Pak Aryo masuk untuk mengajar biologi. Aku tidak tahu kapan pastinya Bu Ika meninggalkan ruangan ini. Yang jelas, Kamis memang hari yang berat. Matematika, biologi, belum lagi nanti ada PPKn.

Siang hari cukup bersahabat. Jika biasanya semesta November mengurai tangis habis-habisan, maka kali ini ia memilih untuk menyimpan rasa dalam-dalam, membuat langit mendung dan gumpalan kapas murung tersebab penasaran. Burung gereja menari di antaranya, mencari tempat untuknya pulang. Atau sekadar singgah?

“Kamu pesan apa, Mal? Mau aku barengin, nih,” tawar Sefia.

“Miyago sama es teh. Biasa,” sahutku.

“Pedas atau enggak?”

“Sedang.”

Sefia mengacungkan ibu jari.

Miyago alias mie ayam goreng. Makanan kesukaan seisi sekolah yang hanya tersedia di kantin Bu Rumi. Selain enak, harganya pun terjangkau. Omong-omong, kantin hari ini layaknya minggu-minggu sebelumnya, padat. Indera pembauku menangkap aroma nasi goreng, omelet, bakso goreng, dan keringat kepunyaan kakak kelas yang baru selesai olahraga menyatu.

“Aduh,” Sesuatu terbesit di benakku, “kelalen[2] enggak bawa duit!”

“Aku balik ke kelas, ambil duit sebentar ya, Sef!” teriakku entah kepada siapa karena tujuanku telah tenggelam di tengah kerumunan.

Seharusnya saat tiba di kelas, aku disambut Ghani. Lelaki jangkung itu biasanya memilih menyendiri, tinggal di ruangan saat istirahat dan memakan bekal yang dibawanya dari rumah. Pernah sekali kutanya mengapa ia tidak bergabung dengan Bara serta yang lainnya. Katanya, untuk menghemat uang saku.

Yang menyambutku sekarang ini justru seseorang yang tidak ingin kutemui. Seseorang yang telah lama hilang dari peradaban. Seseorang yang terakhir kali aku berjumpa, sangat berbeda dari biasanya. Ia di sana. Dengan santai duduk di bangkuku.

“Apa kabar?” Dia membuka percakapan.

Pertengahan SMP menjelma kali pertama aku bertemu dengannya. Ketika itu, pulang sekolah. Aku duduk di tepi lapangan yang terletak tidak jauh dari bangunan tempatku menimba ilmu. Setiap hari aku ke sana, sendiri, menyepi. Menenangkan diri. Kemudian dia datang, aku lupa dari arah mana. Yang jelas aku ingat dia duduk di sampingku.

“Hai. Perkenalkan. Aku Ezra. Kamu pasti Mala, ya?” tebaknya, “Jangan tanya aku tahu dari mana. Aku sudah lama memperhatikanmu. Kita kan bersekolah di tempat yang sama.”

Aku hanya tersenyum. Bagaimana aku bisa mempercayai perkataan seseorang yang baru saja aku temui? Sejujurnya, tidak banyak yang aku ingat dari sore itu. Kami diam saja selagi angin menampar wajah berkali-kali. Setidaknya satu hal yang berubah. Perasaanku. Tidak semuram biasanya.

Sosok Ezra tidak terlihat esok harinya. Demikian pula lusa atau tiga hari setelahnya. Ia baru memunculkan figurnya kala aku benar-benar butuh seorang teman. Seperti aku memiliki ikatan batin yang kuat dengannya, padahal bagiku ia bukan siapa-siapa.

“Ingin cerita sesuatu?” tanyanya dengan suara bass yang unik.

Ezra memiliki arti penyembuh. Maka pernah terlintas di benakku, Ezra adalah sosok paling pas untuk seorang Nirmala yang penuh cacat di dalamnya. Ia sosok paling sempurna. Aku tidak menyangkal ia memiliki paras rupawan. Kulitnya putih bersih, rahangnya kukuh. Tubuhnya proporsional. Sosok lelaki idamanku dan mungkin jutaan perempuan lain.

Kami berbeda kelas. Entah apa saja yang aku lakukan selama dua tahun di SMP sampai tidak tahu ada lelaki seperti dia. Tetapi, dari yang aku dengar, dia memang jarang menampakkan batang hidungnya.

Kegemaran Ezra adalah membolos. Bukan hanya sehari, namun seminggu. Terkadang lebih. Sebab ia terlahir di tengah keluarga berada. Ralat. Kaya. Kaya sekali. Setumpuk uang tentu saja dapat mengganti deretan alfanya bukan?

“Bisakah aku percaya kamu?” Aku balik bertanya.

Dia mengangguk mantap, “Mengapa tidak?”

Lalu, mengalirlah cerita dari sudut bibirku. Cerita yang telah lama kupendam sendiri. Jauh sebelum detik itu, aku tidak punya seseorang untuk berbagi. Jika ayah yang sejatinya kepala di keluargaku, tempat di mana perempuan ini dikandung dan dilahir saja bisa berkhianat kepada bunda, bagaimana bisa aku mempercayai orang lain?

“Kamu adalah perempuan terkuat yang pernah aku temui, La.”

Kalimat yang aku dengar darinya membuat duniaku berotasi pada satu sumbu bernama Ezra Pramudita.

“Kamu itu cantik, baik, pintar. Selalu peringkat pertama di sekolah,” pujinya.

“Tetapi, aku tidak sesempurna itu, Ezra. Aku hanya … seorang yang rapuh. Seorang yang kerap menangis di sepertiga malam meminta kehidupan yang lebih baik.”

“Kamu ingin menjadi orang lain?”

“Jika aku dilahirkan kembali, aku akan bilang ke Tuhan untuk tidak menjadi Nirmala.”

“Pernahkah kamu berpikir di luar sana ada banyak orang yang ingin menjadi dirimu?”

“Mereka hanya ingin punya kelebihanku, Ezra. Tidak dengan kekuranganku.”

Aku mengakhiri masa putih biru bersama Ezra. Tidak ada yang lain sebab aku tidak mempercayai siapapun selain dia. Teman sebangkuku? Sejak awal aku tidak mempercayai tingkah manisnya di hadapanku. Ia mau berbagi bangku denganku semata-mata karena nilai. Berkali-kali aku mendapatinya berbicara busuk tentangku.

Tidak pernah aku berbicara tentang rencana studiku kepada Ezra, tetapi sekali lagi aku seperti punya ikatan batin dengannya. Dibuktikan dengan kami berhasil masuk ke SMA bahkan jurusan yang sama. Walau ditempatkan di kelas yang berbeda. Kebiasaannya masih sama, masih suka membolos. Bahkan akhir-akhir ini jauh lebih parah.

“Hai, Mala.”

Pada suatu Minggu, dia datang ke rumah membuat sejuta kupu-kupu beterbangan di dada.

“EZRA! Ayo masuk!”

Bunda menghampiri ketika itu. Langsung saja, tanpa basa-basi aku memperkenalkan Ezra.

“Bunda. Perkenalkan, ini Ezra, teman SMP Mala. Ezra, perkenalkan, ini Bunda.”

Awalnya bunda terkejut. Raut yang tak pernah kulihat sebelumnya muncul di permukaan wajahnya. Raut yang sama sekali tidak pernah bisa aku mengerti. Baik hari itu, besoknya, bahkan bertahun-tahun sesudahnya.

“Oh iya, halo Ezra. Pasti kamu anak yang baik. Bunda titip Mala ke kamu, ya?”

Walau bunda langsung kembali ke ruang tidur sewaktu itu, aku bersyukur beliau merespon kedatangan Ezra dengan baik.

“Bundamu cantik, ya. Pantas anaknya begini.”

Aku tersenyum saja sembari mengajaknya duduk. Pikiranku melayang-layang. Bunda bukan hanya cantik. Beliau adalah sosok ibu yang tidak akan pernah terganti. Beliau pandai nyaris di segala bidang. Ketabahannya, kelemahlembutannya, kebaikannya. Tidak akan ada yang bisa menyamainya.

Aku saja tidak pernah mengerti mengapa ayah dengan mudah berpaling kepada wanita lain. Bunda kurang apa? Barangkali benar kata pepatah. Rumput tetangga terlihat jauh lebih hijau dan segar. Bunda mendapatkan segalanya, terkecuali cinta suaminya.

“Ezra, omong-omong sejauh dua tahun mengenalmu, kamu tidak pernah bercerita jauh tentang dirimu. Aku pun ingin mengenalmu dalam layaknya kamu mengenalku.”

“Bercerita jauh? Tentang keluargaku misalnya?” Tatapan Ezra mendadak nyalang, menembus langit-langit rumahku yang abu.

“Iya. Aku ingin mendengar ceritamu juga. Tidak etis rasanya jika kamu yang terus-terusan mendengar ceritaku.”

Lelaki yang kala itu mengenakan kaus merah marun berpikir panjang.

“Kurang lebih, kondisi keluargaku sama seperti kamu. Itu sebabnya aku bisa mengerti perasaanmu lebih dari siapapun. Kita ini benar-benar mirip, Mala.”

Aku diam.

“Oleh sebabnya, aku berjanji kepada diriku sendiri untuk selalu ada di sisimu, mendukungmu. Menopangmu ketika rapuh,” ujarnya.

Aku bahagia mendengar pernyataan itu. Tidak lagi setelah mengetahui kenyataannya.

Percakapan itu menjadi yang terakhir. Janji itu menjadi penutup kisah kami.

Ezra tidak lagi ada untuk menemaniku seperti janjinya. Ia tidak ada saat aku frustrasi menjalani rawat jalan. Bunda tidak pernah memberi tahu apa penyakitku, yang pasti kepalaku sering tiba-tiba sakit bak ditumbuk lesung berjuta kali. Obat yang kutelan setiap hari pun bukan hanya satu atau dua biji. Lima biji, itu saja harus dikali tiga.

Ia tidak ada saat aku benci semua orang, bahkan diriku sendiri.

Sekali waktu, lama sekali sejak terakhir kali kami berbincang, dia mendatangiku. Aku bahagia. Namun, Ezra justru menghancurkan ekspektasiku.

“Mengapa baru sekarang kamu datang?” tanyaku.

“Mengapa kamu tanya aku? Mengapa kamu tidak tanya dirimu sendiri?”

“Apa maksudmu, Ezra?”

“Kamu membenciku, kan? Kamu ingin aku lenyap dari kehidupanmu?”

Aku membusur tatapan tidak mengerti kepada matanya yang berapi-berapi.

“Kamu tidak mengerti maksudku?”

Aku menggeleng.

“Lupakan. Lagi pula aku sekarang membencimu.”

Air mataku menitik.

“Kamu ini bodoh, tidak punya pendirian. Kamu ini lemah! Keluargamu berantakan, ayahmu mencampakkan bundamu dan kamu. Tidak ada yang sungguh mencintaimu, La. Tidak ada yang akan mau menerimamu!”

Duniaku runtuh. Aku merupakan orang paling bodoh sedunia sudah memercayai lelaki bernama Ezra. Ternyata sejauh empat tahun mengenalnya, dia hanya tengah memungut kisahku untuk dirakit menjadi sebuah bom. Bom untuk menghancurkan aku.

“Mengapa kamu ada di sini?” ketusku.

Sejak hari itu, aku tidak pernah berbicara dengannya. Paling, melihat bayangannya sepintas melewati ruang kelasku.

“Hanya ingin menyapa. Kamu pasti rindu denganku, kan?”

“Tidak,” tandasku.

“Bohong,” tepisnya, “aku tahu kamu berkali-kali mencoba menyingkirkanku. Tetapi, selalu gagal.”

“Apa dasarnya kamu bilang begitu?” desakku.

Ezra beranjak. Berjalan santai menyambangiku. “Buktinya kita masih bertemu.”

Aku terhenyak.

“Mala, coba tanya dirimu sendiri. Tanya dirimu yang sejatinya tidak pernah betul-betul kamu kenal. Sanggupkah kamu melupakanku?”

Kepalaku memanas mendengar ucapannya.

“Aku enggak pernah tahu mengapa kamu berubah begini.” Aku menuntut penjelasan dari Ezra, namun yang ada pernyataanku justru memantul.

“Aku berubah karena kamu.”

“Sekarang kamu mau apa?” Nada bicaraku meninggi.

“Seperti apa yang kamu inginkan, jauh di lubuk hatimu. Aku ingin kamu lenyap.”

                                                          *

“Mala … Mala …. It’s okay. It’s okay ….” Sefia mengusap punggung kawan sebangkunya yang kini tengah menangis di pelukannya.

Gadis pemilik rambut hitam bergelombang itu mendadak dirundung hawa tidak enak ketika mendapati Mala tidak di tempat semula. Dugaannya, Mala pasti kembali ke kelas sebab lupa membawa uang saku seperti biasa. Usai menitipkan miyago kepada Kirana, salah satu teman organisasinya, Sefia menyusul Mala.

Dilihatnya Ghani mematung di luar kelas, samar-samar disusul teriakan dari dalam ruangan.

Mala tidak keruan. Rambutnya berantakan ulah tangannya sendiri. Wajahnya bengkak dihujani air mata. Puluhan kali yang terucap dari bibirnya adalah sama. “Pergi kamu, Ezra! Aku benci kamu! Kamu gila, aku belum mau mati!” membuat hati Sefia ngilu bak terpencar-pencar menjadi ribuan keping.

“Dia sudah pergi, Mal. Ezra sudah pergi,” lirih Sefia, “dia enggak akan melukai kamu lagi. Karena ada aku, ada Ghani, ada Bara. Ada kita semua, Mal, teman-teman kamu.”

“Aku benci dia, Sef. Aku benci Ezra,” ujar Mala.

“Aku tahu, Mal,” Sefia mengeratkan pelukannya, kemudian membenamkan kepalanya di pundak Mala untuk menumpahkan isaknya di sana.

Namanya Nirmala. Artinya sempurna, tanpa cacat. Sefia setuju. Dia sungguh beruntung memiliki kawan sebangku seperti Mala. Pintar, baik, tidak sungkan untuk mengajarinya materi yang sukar dipahami, aktif di organisasi, dan sebagai bonus, cantik. Sekali. Semua orang ingin menjadi Mala.

Hingga pada suatu ketika, beberapa jam setelah ia selesai kerja kelompok di rumah Mala, Sefia mendapat satu panggilan suara.

“Tante ingin menitipkan Mala kepada Sefia. Tante yakin, Sefi anak yang baik.”

Sefia bingung sewaktu itu, sebelum kalimat selanjutnya menjelaskan semuanya.

“Mala itu … sedikit berbeda. Dia ada … skizofrenia. Jadi, Tante hanya mau pesan satu. Tolong temani dia, ya? Tolong jangan jauhi dia. Tolong ajak dia cerita.”

“I—iya, Tante.” Itu saja yang bisa Sefia katakan.

“Tolong jangan biarkan delusinya lebih nyata dari realita, ya?”

Sefia tidak mengenal siapa Ezra. Karena memang realitanya, tidak pernah ada nama itu baik di sekolah maupun di kehidupan Mala. Ezra tidak lebih dari sekadar delusi Mala. Delusi yang menyakitkan. Delusi yang pada beberapa kasus, meminta inangnya untuk melukai, bahkan melenyapkan diri sendiri.

Sudah lama skizofrenia Mala tidak kambuh. Terakhir, dua bulan lalu.

Pertama kali melihat Mala kambuh, Sefia—dan lainnya—bingung bukan kepalang. Sebelum ia ingat petuah bunda Mala. Penyakit mental itu tidak sama dengan penyakit fisik. Memang sama-sama butuh pengobatan dan perawatan, tetapi, ketika kambuh, penderita lebih membutuhkan dukungan dari orang sekitar. Penderita hanya butuh orang lain menenangkannya.

Bara tergopoh-gopoh menghampiri Sefia usai lari cepat dari ruang guru, “Aku su—sudah minta izin ke Bu Yanti bi—biar Mala tidak ikut pelajaran PPKn dulu. Biar dia bi—bisa istirahat.”   

Sefia mengiyakan ucapan ketua kelasnya. Tadi, Sefia refleks meminta Ghani menelepon Bara. Sefia juga refleks meminta anak 12 MIPA 6 tidak masuk ke ruang kelas dulu, demi memberi udara segar yang cukup untuk Mala.

Tangis Mala sudah mereda. Ia jauh lebih tenang dari sebelumnya. Namun, tubuh gadis itu kini lemas tidak berdaya. Dengan penuh inisiatif, Sefia dibantu dengan Nadia dan Manda merengkuh Mala, membawanya ke Unit Kesehatan Sekolah.

Tidak pernah sekalipun terbesit pemikiran buruk mereka soal Mala. Semua sepakat Mala adalah manusia terhebat yang pernah mereka temui.

Mereka menyayangi Mala. Bukan hanya sebagai teman kelas, namun juga sebagai sahabat. Sangat. Walau Mala tidak banyak bicara. Walau Mala tidak begitu terbuka dengan mereka. Yang terpenting, mereka sudah berusaha membahagiakan Mala. Dan akan selalu begitu.

Mereka telah berjanji, akan senantiasa ada di fase-fase terberat itu. Mereka telah berjanji, akan tetap sabar melalui proses demi prosesnya.

Sebab mereka yakin, akan tiba waktu ketika delusi Mala tak lebih nyata dari realitanya.

Akan tiba masa saat Mala bisa menemukan Sefia dan yang lainnya dalam segala sedih dan resahnya. Menceritakannya, membagikannya agar semua beban tidak ditanggungnya seorang diri.

Akan tiba hari di mana Mala bisa tersenyum dan tertawa lepas bersama mereka.

Seperti sedia kala.

Seperti seharusnya.



[1] Hush, saru (tidak pantas). Jangan sembarangan!

[2] lupa


hope you enjoy!